Rabu, 10 Mei 2017

Kesultanan Brunei Darussalam

    Catatan sejarah awalnya kerajaan Brunei menyebutkan bahwa peradaban Brunei diketahui telah ada sejak abad ke 6. Pada saat itu Brunei dikenal sebagai salah satu pelabuhan persinggahan para pelaut dari Cina, Arab, dan India. Para pelaut yang didominasi kaum pedagang tersebut biasanya singgah sejenak di pelabuhan Brunei kemudian melanjutkan pelayaran ke daerah Nusantara

     Dalam catatan sejarah Cina, Brunei dikenal dengan nama Po-li, Po-lo, atau Pu-ni. Dalam catatan sejarah Arab, Brunei disebut dengan nama Zabaj atau Randj. Sedangkan para pelaut (pedagang) Arab menyebut “Laut Brunei” untuk perairan yang kini kita kenal dengan nama Laut Cina Selatan.

    Ketika Dinasti Sung digantikan oleh Dinasti Ming yang berkuasa di Cina antara tahun 1368-1643 M, penyebutan Pu-ni mulai bergeser menjadi Brunei. Penyebutan “Brunei” menjadi nama baru dalam catatan Cina yang diindikasikan karena pengaruh dari perpindahan Kerajaan Brunei Tua ke Kota Batu.

    Catatan dari Dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1397 M, beberapa utusan telah datang ke Cina. Utusan-utusan tersebut berasal dari Annam, Siam, Jawa, Liu-Kiu, San-bo-tsai, Bruni (Brunei), Pahang, Sumatera, dan negeri lain. Berdasarkan catatan dari Dinasti Ming ini dapat diperkirakan bahwa perpindahan Kerajaan Brunei Tua ke Kota Batu berlangsung sebelum tahun 1397 M.
Islam di Brunei

     Ketika Kerajaan Brunei Tua telah merdeka, Raja Awang Alak Betatar menjalin hubungan dengan Johor. Hubungan ini ditandai dengan perkawinan antara Raja Awang Alak Betatar dengan seorang putri dari Johor. Lewat perkawinan ini, Raja Awang Alak Betatar akhirnya memeluk agama Islam sehingga namanya diubah menjadi Sultan Muhammad Syah. Saat itulah agama Islam mulai ditetapkan sebagai agama negara.

    Sultan Muhammad Syah memimpin Kesultanan Brunei hingga tahun 1402 M. Dalam Salasilah Raja Brunei disebutkan bahwa Sultan Muhammad Syah hanya memiliki seorang putri bernama Puteri Ratna Dewi, namun apabila ditilik dari batu nisan makam Rokayah binti Sultan Abdul Majid Hasan ibnu Muhammad Syah Al Sultan yang berangka tahun 1422 M dan terletak di Tanah Pekuburan Islam di Jalan Residency Bandar Seri Begawan didapatkan sebuah keterangan bahwa Sultan Muhammad Syah memiliki seorang putra bernama Sultan Abdul Majid Hasan atau dalam catatan Cina ditulis Ma-na-je-ka-na. Namun nama Sultan Abdul Majid Hasan tidak termasuk ke dalam Salasilah Raja Brunei. Sultan Abdul Majid Hasan mangkat pada tahun 1408 M ketika melakukan kunjungan ke Nanking Cina. Beliau dimakamkan di Cina dan pada nisannya tertulis “Makam Raja Puni”. 

     Catatan yang terdapat dalam Salasilah Raja Brunei menyatakan bahwa setelah Sultan Muhammad Syah mangkat pada tahun 1402 M, pengganti kedudukan Sultan Brunei adalah saudara Sultan Abdul Majid Hasan yang bernama Pateh Berbai atau Pangeran Bendahara. Pada tahun 1408 Pangeran Bendahara naik tahta dan bergelar Sultan Ahmad.

    Pada tahun 1425 M Sultan Ahmad mangkat. Oleh karena tidak memiliki putra maka kedudukan Sultan Brunei diserahkan kepada menantunya Sharif Ali. Sharif Ali adalah seorang penyebar agama Islam yang berasal dari Taif di Arab dan telah menyebarkan agama Islam sejak tahun 1400 M atau ketika Brunei masih diperintah oleh Sultan Abdul Majid Hasan.

    Kepemimpinan Sultan Sharif Ali atau yang juga dikenal dengan nama Paduka Seri Muda Berkat berlangsung hingga beliau mangkat pada tahun 1432 M. Pengganti Sultan Sharif Ali berturut turut adalah Pengeran Muda Besar Sulaiman yang naik tahta pada tahun 1432 M dan bergelar Sultan Sulaiman. Dalam Hikayat Hang Tuah Sultan Sulaiman disebut sebagai Adipati Agung sedangkan dalam Sejarah Melayu, disebut Sang Aji Brunei. Sultan Brunei selanjutnya adalah Pengeran Muda Bolkiah yang naik tahta pada tahun 1485 M dan bergelar Sultan Bolkiah. Sultan Bolkiah dikenal juga dengan nama Anakhuda Ragam atau Nahkoda Ragam. Sebutan ini merujuk pada kebiasaan Sultan Bolkiah yang sering bepergian ke luar negeri dengan menggunakan “ajung” (jung atau kapal). Dalam setiap kepergian beliau selalu diiringi oleh musik Nobat dan Gendang Kebesaran Diraja. Sultan Bolkiah dikenal sebagai sosok yang adil dalam memerintah sehingga beberapa daerah yang dikunjunginya merasa terlindungi dan tunduk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei.

     Pada tarikh 11 Juli 1524 Sultan Bolkiah mangkat dalam perjalanan kembali ke Brunei dari luar negeri. Pengeran Anak Cucu Besar Saiful Rijal naik tahta dan bergelar Sultan Abdul Kahar. Pemerintahan Sultan Abdul Kahar berlangsung hingga tahun 1530 M. Selepas Sultan Abdul Kahar meletakkan jabatan putra sulung baginda yang bernama Pengeran Muda Besar Ismail naik tahta namun hanya bertahan setahun karena beliau mangkat. 

     Pengganti Pengeran Muda Besar Ismail adalah Pengeran Muda Tengah Othman namun tidak lama kemudian juga mangkat sehingga digantikan oleh Pengeran Muda Iring Ali Akbar. Hal serupa terjadi pada dua pendahulunya Pengeran Muda Iring Ali Akbar juga mangkat tidak lama setelah naik tahta.

     Saat itu Sultan Abdul Kahar baru menyadari jika tahta Kesultanan Brunei sesungguhnya milik keturunan dari kakaknya Pengeran Bendahara Pengeran Muda Besar Tajuddin yang tidak sempat naik tahta meskipun telah disiapkan sebagai pengganti ketika ayah mereka Sultan Bolkiah memerintah. Atas dasar pertimbangan tersebut Sultan Abdul Kahar menyerahkan tahta Brunei kepada putra Pengeran Bendaraha Pengeran Muda Besar Tajuddin yang bernama Pengeran Anak Cucu Besar Saiful Rijal. Pada tahun 1533 M Pengeran Anak Cucu Besar Saiful Rijal naik tahta dan bergelar Sultan Saiful Rijal. Ketika Sultan Saiful Rijal memerintah terjadi Perang Kastila.

     Perang Kastila dimulai ketika Spanyol yang telah berhasil menaklukkan Filipina (Manila) pada tahun 1571 M bermaksud menawarkan “perlindungan” kepada Kesultanan Brunei. Tawaran perlindungan bermakna bahwa Kesultanan Brunei mengakui kedaulatan Spanyol yang bermarkas di Manila. Tawaran ini ditolak oleh Sultan Saiful Rijal.

    Sikap Spanyol ini didasari oleh dua hal, pertama Kesultanan Brunei telah menyebarkan agama Islam sehingga berpengaruh kuat di Filipina sejak masa kekuasaan Sultan Bolkiah. Kedua, perkembangan Islam di Filipina tentu saja menghambat upaya Kristenisasi yang menjadi salah satu tujuan Spanyol. Oleh karena itu Spanyol merasa perlu untuk menaklukkan pusat Islam yaitu Kesultanan Brunei.

     Kontak senjata pertama antara pasukan Kesultanan Brunei melawan Spanyol terjadi pada tarikh 14 April 1578. Pasukan Spanyol dipimpin oleh Kapten Jenderal Spanyol di Manila, Dr. Fansisco de Sande berkekuatan 40 kapal perang. Sedangkan pasukan Brunei berkekuatan 50 kapal perang. Dalam kontak pertama ini, pasukan Kesultanan Brunei menderita kekalahan.

     Kemenangan pada kontak senjata pertama menjadikan moral pasukan Spanyol bangkit. Pada tarikh 16, 20, dan 24 April 1578 pasukan Spanyol telah memasuki istana, menggeledah, dan merampas berbagai barang berharga. Pasukan Kesultanan Brunei yang kalah pada kontak pertama kemudian menggalang kekuatan di bawah pimpinan Pengeran Bendahara Sakam ibnu Sultan Abdul Kahar. Pasukan ini kembali menggempur Spanyol hingga terdesak dan dipaksa untuk mundur sampai ke Nausung (Sabah). Pada tarikh 26 Juni 1578, Spanyol menderita kekalahan perang dan berhasil diusir dari bumi Brunei. Sebagai pelampiasan atas kekalahan perang, tiga hari sebelum meninggalkan Brunei, pada tarikh 23 Juni 1578, Dr. Fansisco de Sande memerintahkan untuk membakar Masjid Jami’ Brunei. 

     Pengeran Bendahara Sakam yang berjasa karena kepemimpinannya dalam mengusir Spanyol akhirnya mendapat anugerah dari Sultan Saiful Rijal yaitu gelar Raja Bendahara, sebuah gelar yang dianggap sebagai calon pengganti Sultan Brunei. Namun sebelum naik tahta, Pengeran Bendahara Sakam telah mangkat. Sultan Saiful Rijal mengangkat putranya yang bernama Raja Brunei (Syah Brunei) sebagai Sultan Brunei, namun tidak lama kemudian juga mangkat. Tahta Kesultanan Brunei akhirnya diserahkan kepada adik Sultan Saiful Rijal yang bernama Pengeran Muda Muhammad Hasan yang naik tahta pada tahun 1582 M bergelar Sultan Muhammad Hasan.

    Sultan Muhammad Hasan mangkat pada tahun 1598 M. Pengganti Sultan Muhammad Hasan adalah Pengeran Muda Besar Abdul Jalilul Akbar bergelar Sultan Jalilul Akbar (1598-1659 M), kemudian Pengeran Muda Besar Sulong Abdul Jabbar bergelar Sultan Abdul Jalilul Jabbar (1659-1660 M). 

      Sultan Muhammad Ali mangkat pada tarikh 7 November 1661 dan digantikan oleh Pengeran Bendahara Pengeran Abdul Hakkul Mubin yang bergelar Sultan Abdul Hakkul Mubin. Ketika masih memerintah, Sultan Abdul Hakkul Mubin telah memberikan karunia gelar Pengeran Bendahara Seri Maharaja Permaisuara kepada Pengeran Bongsu Muhyiddin ibnu Sultan Abdul Jalilul Akbar yang tak lain adalah adik kandung Sultan Abdul Jalilul Jabbar dari ibu yang sama, Radin Mas Ungku Siti Kaisah, putri Pengeran Temenggong Mancho Negoro dari Jawa.

     Luka lama pembunuhan yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hakkul Mubin terhadap Sultan Muhammad Ali kembali terkuak. Pengeran Bongsu Muhyiddin bermaksud menuntut balas dan berusaha merebut tahta. Terjadilah perang saudara yang berlangsung selama 12 tahun (1661-1673 M). Perang berakhir ketika Sultan Abdul Hakkul Mubin berhasil dibunuh oleh Pengeran Bongsu Muhyiddin yang kemudian menduduki tahta Kesultanan Brunei pada tahun 1673 M dan bergelar Sultan Muhyiddin.

     Sultan Muhyiddin mangkat pada tahun 1690 M. Pengganti Sultan Muhyiddin adalah Pengeran Anak Cucu Nasruddin ibnu Pengeran Muda Besar Abdullah ibnu Sultan Abdul Jalilul Akbar bergelar Sultan Nasruddin. Sultan Nasruddin mangkat pada tahun 1670 M dan digantikan Pengeran Muda Husain Kamaluddin ibnu Sultan Haji Muhammad Ali yang bergelar Sultan Husain Kamaluddin. Keinginan almarhum Sultan Muhyiddin untuk mengembalikan tahta Kesultanan Brunei kepada keturunan Sultan Muhammad Ali akhirnya terealisasi.

    Masa pemerintahan Sultan Husain Kamaluddin disebutkan sebagai salah satu masa kemakmuran Kesultanan Brunei. Salah satu indikasi kemakmuran Kesultanan Brunei ditunjukkan dengan mengeluarkan mata uang Kesultanan Brunei yang disebut mata uang “pitis”.

   Pemerintahan Sultan Husain Kamaluddin jilid II bertahan hingga tahun 1740 M. Beliau kemudian menyerahkan tahta Kesultanan Brunei kepada menantunya, Pengeran Muda Tengah Omar Ali Saifuddin yang menikah dengan Pengeran Anak Putri Nur Alam binti Sultan Husain Kamaluddin. Pengeran Muda Tengah Omar Ali Saifuddin naik tahta pada tahun 1740 M dan bergelar Sultan Omar Ali Saifuddin I.

    Pemerintahan Sultan Omar Ali Saifuddin I bertahan hingga tahun 1778 M. Pengganti Sultan Omar Ali Saifuddin I adalah Pengeran Muda Besar Muhammad Tajuddin bergelar Sultan Muhammad Tajuddin. Selanjutnya pada tahun 1804 M tahta Kesultanan Brunei diserahkan kepada Pengeran Muda Tengah Jamalul Alam bergelar Sultan Muhammad Jamalul Alam I.

    Sultan Muhammad Jamalul Alam I memerintah hanya sekitar 7 bulan (26 April 1804 hingga 10 November 1804). Beliau mangkat dan digantikan putranya Pengeran Muda Besar Omar Ali Safiuddin II. Namun berhubung putra baginda belum cukup umur maka tahta Kesultanan Brunei untuk sementara diampu oleh Paduka Seri Begawan Sultan Muhammad Tajuddin.

     Paduka Seri Begawan Sultan Tajuddin hanya mampu memimpin Kesultanan Brunei hingga tahun 1807 M. Beliau kemudian menyerahkan tahta kepada Pengeran Di Gadong Ayah Pengeran Muda Tengah Muhammad Kanzul Alam ibnu Sultan Omar Saifuddin I dan bergelar Sultan Muhammad Kanzul Alam. Masa pemerintahan Sultan Muhammad Kanzul Alam juga diwarnai dengan keputusan sepihak untuk mengangkat putranya Pengeran Muda Muhammad Alam sebagai calon pewaris tahta. 

     Pada tahun 1826 Pengeran Muda Muhammad Alam naik tahta dan bergelar Sultan Muhammad Alam. Pemerintahan Sultan Muhammad Alam dijalankan dengan sistem kediktatoran. Bahkan pada tarikh 15 Februari 1826 pewaris tahta yang sah, Pengeran Muda Besar Omar Ali Safiuddin II terpaksa harus mengungsi ke Pulau Keingaran untuk menghindari pertumpahan darah. Masa pemerintahan Sultan Muhammad Alam hanya berlangsung selama 2 tahun. Pada tahun 1828 M, Sultan Muhammad Alam meninggal dan tahta Kesultanan Brunei dikembalikan kepada Pengeran Muda Besar Omar Ali Safiuddin II yang bergelar Sultan Omar Ali Safiuddin II.

 Sultan Omar Ali Safiuddin II
 
Pengaruh Inggris/British di Brunei

     Pada abad ke 19 James Brooke tiba di Sarawak. Duta Kerajaan Inggris ini bermaksud untuk menjalin hubungan dengan penguasa Sarawak kala itu, Pengeran Indera Mahkota Pengeran Muhammad Salleh yang merupakan kepanjangan tangan Kesultanan Brunei. Pengeran Indera Mahkota Pengeran Muhammad Salleh menjadi penguasa Sarawak ketika Sultan Muhammad Kanzul Alam bertahta. Selain Pengeran Indera Mahkota Pengeran Muhammad Salleh di Sarawak juga bermukim Pengeran Muda Hashim ibnu Sultan Muhammad Kanzul Alam. James Brooke mendekati Pengeran Muda Hashim untuk menjalin perjanjian kerjasama. Perjanjian akhirnya berhasil dibuat antara James Brooke dengan Pengeran Muda Hashim pada tahun 1841 M. Isi perjanjian adalah izin bagi James Brooke untuk tinggal dan mendirikan bangunan di Sarawak.

     Perjanjian tahun 1841 M diperbaharui dengan perjanjian yang ditandatangani pada tarikh 15 Agustus 1842 antara James Brooke dengan Sultan Omar Ali Safiuddin II melalui perantara Pengeran Muda Hashim ibnu Sultan Muhammad Kanzul Alam. Perjanjian 1842 berisi pelantikan James Brooke sebagai penguasa di Sarawak. Berdasarkan pelantikan tersebut maka kekuasaan Pengeran Indera Mahkota Pengeran Muhammad Salleh sebagai penguasa di Sarawak digantikan oleh James Brooke.

    James Brooke menjadikan terbunuhnya Pengeran Muda Hashim ibnu Sultan Muhammad Kanzul Alam selaku sekutu politiknya sebagai alasan untuk menyerang Kesultanan Brunei. Pada tarikh 8 Juli 1846 angkatan perang James Brooke (Kerajaan Inggris) yang didukung oleh Laksamana Sir Thomas Cochare, Komandan Pangkalan di Timur Jauh telah mendarat di Brunei. Perang antara Kesultanan Brunei dan Inggris tidak terhindarkan. Akibat perang ini, Sultan Omar Ali Safiuddin II terpaksa mengungsi ke Damuan. Perseteruan dengan Inggris akhirnya diakhiri dengan perjanjian persahabatan dan perdagangan pada tahun 1847 M.

     Pada tarikh 14 Agustus 1961 Sultan OmarAli Saifuddien III mengarak putra tertua, Pengeran Muda Besar Hassanal Bolkiah menjadi Putea Mahkota sebagai calon pengganti kedudukan Sultan Brunei. Akhirnya pada tarikh 5 Oktober 1967 Sultan Omar ‘Ali Saifuddien III menurunkan tahta kepada putranya Pengeran Muda Besar Hassanal Bolkiah untuk menjadi Sultan Brunei dan bergelar Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah.

     Pemerintahan Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah ditandai dengan deklarasi kemerdekaan Negara Brunei Darussalam pada tarikh 1 Januari 1984. Deklarasi tersebut pada dasarnya merupakan kelanjutan dari upaya menuju Negara Brunei Darussalam yang berdaulat yang telah dirintis oleh Sultan Omar ‘Ali Safiuddien Sa’adul Khairi Waddien pada tarikh 29 September 1959. Kini Kesultanan Brunei Darussalam menjadi inti dari sebuah negara monarki bernama Negara Brunei Darussalam. Sampai saat ini Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah masih menjabat sebagai Kepala Negara Brunei Darussalam sekaligus sebagai Sultan Brunei Darussalam.

 Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah



Tidak ada komentar:

Baca Artikel Lainnya