Kesultanan Siak Sri Indrapura berdiri tahun 1723-1946 M yang
didirikan oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah,
putra Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dan isterinya Encik Pong. Dengan
Pusat Kerajaan di Buantan. Selama lebih dari 20 tahun pemerintahan di
Buantan Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah yang dipertuan Raja Kecil, telah
menempatkan dasar dari sebuah kerajaan yang kelak akan berkembang
dibawah pemerintahan keturunannya. Hubungan perdagangan diatur dengan
baik sehingga negeri yang baru berkembang itu berkembang dengan cepat
dan dikunjungi oleh pedagang dari Pesisir Timur Sumatera. Sultan mangkat
pada tahun 1746 M dan diberi gelar Mahrum Buantan.
Sultan ini
mempunyai tiga orang putra yaitu Tengku Alam bergelar Yang di Pertuan
Muda, Tengku Tengah (meninggal sebelum dewasa) dan Tengku Buang Asmara
Bergelar Tengku Mahkota. Diakhir hayatnya, meletus perang saudara yang
mana kedua puteranya berselisih faham. Hal ini menyebabkan Tengku Alam
yang dipertuan Muda akhirnya meninggalkan Buantan. Pemerintahan/pihak
kerajaan Kesultanan Siak dilanjutkan oleh Tengku Buang Asmara, Tengku
Mahkota dengan gelar Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1765 M). Sekitar
tahun 1750 M, Sultan memindahkan ibukota ke hulu negeri Buantan pada
sebuah tempat bernama Mempura yang terletak pada sebuah anak sungai yang
bernama Sungai Mempura Besar. Setelah beliau memerintah selama kurang
lebih 19 tahun dan setelah Kerajaan Siak kukuh, pada tahun 1765 M beliau
mangkat dan diberi gelar Marhum Mempura Besar.
Pada masa Sultan
ke IX Pemerintahan Kesultanan Siak dipimpin oleh Said Ismail dengan
gelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1827-1864
M). Beliau adalah menantu dari Sultan Said Ali. Pada masa beliau pusat
Kerajaan dipindahkan ke Kota Siak Sri Indrapura dan ditandatanganinya
"Traktat Siak" dengan Hindia Belanda yang berisi bahwa Kerajaan Siak
takluk kepada Belanda. Beliau mangkat dan diberi gelar Marhum Indrapura.
Selanjutnya Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I
(1864-1889 M) yang memerintah di Kerajaan Siak. Pada masa beliau,
Mahkota Kerajaan Siak dibuat, sehingga pada saat beliau wafat dianugrahi
gelar Marhum Mahkota.
Pada masa Sultan ke XI yaitu Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil
Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908 M, maka dibangunlah
Istana yang megah nan indah yang terletak di Kota Siak dan Istana ini
diberi nama Istana Asserayyah Al Hasyimiah yang dibangunpada tahun 1889
M. Pembuatan Istana ditukangi oleh seorang arsitektur Jerman yang
bernama Vande Morte. Beliau juga mendirikan Balai Kerapatan Tinggi
ataupun Balairung Sri yang dijadikan ruang kerja Sultan, Aparatur
Pemerintahan serta tempat Penobatan dan Mahkamah pengadilan. Sultan
Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin Mangkat pada tahun 1908 di
Singapura dan jenazahnya dibawa ke Siak yang kemudian dimakamkan di
komplek Pemakaman Koto Tinggi. Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif
Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi, dan dimasa
inilalah beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan
Belanda. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil
dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan
baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan ke 12 dengan gelar
Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir dekenal
dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani ( Sultan Syarif Kasim II ).
Sultan
Syarif Kasim II sangat berjasa bagi Indonesia. Saat menyatakan
kesetiaan pada Republik Indonesia, mahkota, pedang, dan sebagian
hartanya diserahkan kepada Soekarno-Hatta.
Bicara tentang sosok Sultan Syarif Kasim II tak bisa dipisahkan
dari Kesultanan Siak Sri Indrapura yang merupakan kesultanan terbesar
di Riau. Kesultanan itu didirikan oleh Raja Kecil bergelar Sultan Abdul
Jalil Rakhmat Syah pada 1723.
Sultan Syarif Kasim II yang lahir
di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 adalah Sultan Siak Sri
Indrapura ke-12. Dia menggantikan ayahnya, Sultan Assyaidin Hasyim I
Abdul Jalil Syaifuddin yang wafat pada 1908. Namun, dia baru dinobatkan
menjadi sultan pada 13 Maret 1915, dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif
Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin. Dia berkuasa hingga 1946.
Sejak dinobatkan sebagai sultan, dia menegaskan sikap bahwa Kerajaan
Siak adalah kerajaan yang berkedudukan sejajar dengan Belanda. Hal ini
tidak seperti isi kontrak perjanjian antara Kesultanan Siak dengan
Belanda yang menyatakan bahwa Siak adalah milik Kerajaan Belanda yang
dipinjamkan kepada sultan.
Demi mencerdaskan rakyatnya, Sultan
Syarif Kasim II menyelenggarakan program pendidikan dengan mendirikan
Hollandsch Inlandsche School (HIS) di samping sekolah berbahasa melayu
yang diperuntukkan bagi semua lapisan penduduk.
Untuk
mempermudah transportasi bagi para siswa, dia membuat perahu
penyeberangan gratis. Bahkan, bagi para siswa yang berbakat diberikan
beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke luar daerah seperti Medan, Padang,
dan Batavia.
Dia juga mendirikan sekolah agama khusus
laki-laki dengan nama Taufiqiah Al-Hasyimah. Tak tanggung-tanggung,
tenaga pengajar didatangkan dari Padang dan Mesir.
Selama
memimpin, dia sangat menentang dan menolak kebijakan Belanda yang
mewajibkan agar rakyat melakukan kerja rodi. Penentangan ini oleh pihak
Belanda dianggap sebagai penolakan pribadi Sultan.
Belanda tak
bisa terima. Sultan Syarif Kasim II dianggap memberontak. Untuk
menumpas pemberontakan itu, Belanda melakukan pembakaran terhadap
rumah-rumah penduduk. Bahkan, Belanda mendatangkan bala bantuan di bawah
pimpinan Letnan Leitser yang telah berpengalaman dalam Perang Aceh.
Namun, usaha Leitser untuk menumpas pemberontakan tersebut gagal. Bahkan, Leitser tewas bunuh diri pada 1932.
Di masa pendudukan Jepang, Sultan Syarif Kasim II juga tetap konsisten
membela rakyatnya agar menolak untuk menjadi tenaga Romusha.
Setelah mendapat kabar Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI
pada 17 Agustus 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirim surat kepada
Soekarno-Hatta. Surat itu berisi tentang kesetiaan dan dukungan kepada
Pemerintah RI.
Sebagai mahar, dia disebut menyerahkan harta
kekayaannya untuk perjuangan senilai 13 juta gulden. Dia juga disebut
menyerahkan mahkota dan pedang Kesultanan Siak.
Pada Oktober
1945, Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI)
di Siak, yang dipimpin Dr Tobing. Dia lalu membentuk Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik.