Senin, 08 Mei 2017

Kesultanan Demak


      Kesultanan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yang berdiri pada abad ke 15 berkat perjuangan dan usaha Pangeran Jinbun atau Raden Patah ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.

      Dengan bantuan daerah lain yang masuk Islam seperti Jepara, Tuban, dan Gresik. Raden Patah pada tahun 1475 berhasil mendirikan Kesultanan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah adalah putra Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir) dengan putri Champa. Raden Patah semula diangkat menjadi bupati oleh Kerajaan Majapahit di Bintoro Demak dengan gelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Setelah menjadi sultan Kesultanan Demak Raden Fatah memindahkan semua alat upacara kerajaan dan pusaka Majapahit ke Demak sebagai lambang dari tetap berlangsungnya Kerajaan Kesatuan Majapahit, tetapi dalam bentuk baru di Demak.

      Dalam upaya mengembangkan kekuasaan dan menguasai perdagangan nasional dan internasional maka pada tahun 1513 Demak melancarkan serangan ke Melaka di bawah pimpinan Adipati Unus (Pangeran Sabrang Lor). Namun, serangan tersebut gagal. Di lingkungan kesultanan, para wali berperan sebagai pendamping dan sekaligus sebagai penasehat sultan khususnya Sunan Kalijaga. Ia banyak memberikan saran sehingga Demak berkembang menjadi mirip kesultanan teokrasi yaitu kesultanan atas dasar agama.

      Perkembangan agama Islam di Kesultanan Demak tidak terlepas dari peranan para wali (Wali Songo) terutama peran dari Sunan Kalijaga. Untuk memajukan kehidupan budaya di Demak, Sunan Kalijaga memimpin pembangunan Masjid Demak yang terkenal salah satu tiang utamanya terbuat dari pecahan kayu yang disebut Soko Tatal. Di pendopo (serambi depan) Masjid Demak itulah Sunan Kalijaga meletakan dasar perayaan sekaten untuk memperoleh penganut Islam yang banyak. Tradisi seperti itu sampai sekarang masih dilaksanakan di Yogyakarta dan Cirebon.

Runtuhnya Majapahit karena Demak?

      Mundurnya Kerajaan Majapahit memberikan kesempatan kepada para bupati yang berada di pesisir pantai utara Jawa untuk melepaskan diri, khususnya Demak. 

     Faktor lain yang mendorong perkembangan Demak ialah letaknya yang strategis di jalur perdagangan Nusantara

     Fakta sejarah yang sebenarnya terjadi adalah, penyerangan Demak ke Majapahit terjadi pada tahun 1518 M yang saat itu dipimpin oleh Adipati Unus (putera Raden Patah yang berjuluk Pangeran Sabrang Lor) dan pada dasarnya serangan ini adalah serangan balasan terhadap Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang telah membunuh kakeknya (Bhre Kertabhumi).

      Keruntuhan Majapahit tidak semata mata karena serangan Demak namun lebih kepada terjadinya perebutan kekuasaan antara para bangsawan Majapahit yang pada akhirnya melemahkan keberadaan Majapahit sendiri.

Kerajaan Kandis


      Kerajaan Kandis merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang berdiri di Sumatera yang letaknya di Lubuk Jambi, Kuantan Singingi, Riau.

      Kerajaan Kandis diperkirakan berdiri pada abad ke 1 Sebelum Masehi mendahului berdirinya kerajaan Malayu di Sumatera Tengah. Dua tokoh yang sering disebut sebagai raja kerajaan ini adalah Patih dan Tumenggung.

      Kemudian berdirilah Kerajaan Kandis di Bukit Bakar yang diperintah oleh Raja Darmaswara disingkat dengan Daswara. Raja Darmaswara dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh Patih dan Temenggung. Darmaswara membangun sebuah istana yang megah sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama dengan Istana Dhamna.

      Dengan berdirinya kerajaan baru, maka mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul peperangan antar kerajaan. Salah satunya kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil Putih. Setelah itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan dikalahkan oleh Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh Kandis sehingga Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi sedangkan Patih dan Temenggung pindah ke Marapi.

      Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung layang-layang dari hasil bumi seperti emas, perak, dan lain lain. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Raja Darmaswara memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.

      Setelah kerajaan Kandis mengalahkan Kerajaan Koto Alang, Kandis memindahkan pusat pemerintahannya ke Teluk Kuantan oleh Raja Darmaswara (tidak diketahui Raja Darmaswara yang ke berapa). Pemindahan pusat pemerintahan Kandis ini disebabkan oleh bencana alam (tidak diketahui tahun terjadinya) yang mengakibatkan Istana Dhamna hilang tertimbun tanah.

Bukti Peninggalan Kerajaan Kandis

1) Bekas penambangan emas yang disebut dengan tambang titah artinya diadakan penambangan emas atas titah Raja Darmaswara. Lokasinya dikaki Bukit Bakar bagian timur yang berlubang bekas penambangan yang telah ditumbuhi kayu kayuan.

2) Adanya tempat yang disebut Padang Candi di Dusun Botung menandakan Kerajaan Koto Alang menganut agama Hindu. Pada tahun 1955 pernah dilakukan penggalian dan menemukan Arca sebesar botol dan Arca tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya. Dilokasi tersebut ditemukan potongan batu bata candi.

3) Pada tahun 1967 ditemukan tutup periuk dari emas di dalam sungai Kuantan. Tutup periuk emas ini diambil oleh pihak yang berwajib dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Diperkirakana tutup periuk ini terbawa arus sungai yang berasal dari tebing yang runtuh disekitar Kerajaan Koto Alang.

Kesultanan Banjar


     Kesultanan Banjar berdiri sejak abad ke 16. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terakhir di Martapura. 


      Kesultanan Banjar merupakan kerajaan Islam yang ada di Kalimantan Selatan yang didirikan oleh Pangeran Samudera. Kesultanan ini berkembang menjadi pusat perkembangan yang banyak dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai daerah. Yang dalam penyebaran Agama Islam di Kalimantan Selatan Khususnya daerah Banjarmasin dilakukan oleh para pemeluk agama Islam dari Demak. Dalam penyebaran Agama Islam ini mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Kalimantan.


      Pengeran Samudera, Sultan Banjar yang sebelumnya kerajaan Hindu merasa tertarik terhadap ajaran Islam, yang sehingga akhirnya ia memeluk Islam dan namanya pun diganti menjadi Sultan Suryamullah atau Sultan Suryansyah. Dengan masuk Islamnya Suryamullah maka bentuk Banjar pun berubah menjadi kerajaan bercorak Islam.


      Selain itu Demak pun pernah membantu Sultan Suryamullah ketika kesultanan Banjar melakukan penyerbuan ke karajaan Hindu Negaradipa. Dikalahkannya Negaradipa ini membawa akibat positif terhadap perkembangan Islam di Kalimantan Selatan.


      Sultan Suryanullah digantikan putranya, Sultan Rahmatullah. Rahmatullah lalu digantikan oleh Sultan Hidayatullah. Pada masa Hidayatullah ini, hubungan dengan Demak terputus. Ia memindahkan ibukota ke Muara Tambangan dari Martapura.


      Kesultanan Banjar diberhentikan oleh Belanda pada tahun 1860. Pada tahun 1859 hingga 1905, berlangsung Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Pengeran Antasari yang masih kerabat istana, tak setuju terhadap kebijakan pengeran Tamjidillah yang pro Belanda. Pertempuran besar melawan Belanda berenti pada tahun 1863, namun pertempuran dalam skala kecil masih berlangsung hingga tahun 1905 yang dipimpin oleh putra Antasari, Muhammad Seman.

Kesultanan Sulu


     Pada tahun 1380, seorang ulama berketurunan Arab yaitu Karim ul Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian pada tahun 1390, Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau melanjutkan penyebaran Islam di wilayah Sulu. Dan hingga akhir hayatnya Raja Bagindo pun telah mengislamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu.

      Kemudian dilanjutkan oleh seorang Arab dari Melayu Johor yaitu Sharif ul Hashim Syed Abu Bakar tiba di Sulu sekitar abad ke 13. Ia kemudian menikah dengan Paramisuli yaitu putri Raja Bagindo. Setelah kematian Raja Bagindo, Abu Bakar akan melanjutkan pengislaman di wilayah ini. Pada abad ke 13 , ia mendirikan Kesultanan Sulu dan memakai gelar "Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashim Abu Bakar" dan Gelar "Paduka" tersebut adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan "Mahasari" bermaksud adalah "yang dipertuan".

      Pada abad ke 18, Kesultanan Melayu Brunei menganugerahkan bagian timur Sabah kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpas pemberontakkan di Brunei. Pada abad yang sama, Kesultanan Sulu pun menganugerahkan Pulau Palawan kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat kemudian menyerahkan Palawan kepada Penjajahan Spanyol yang sekarang berada di Filipina Selatan.

      Ibukota Kesultanan Sulu berada di Jolo, Pulau Jolo, Filipina.

Kesultanan Melayu Deli


     Kesultanan Deli berdiri di kota Medan pada abad ke 17 yaitu pada tahun 1632 Masehi. Kesultanan Deli oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan.

      Sejarahnya Tuanku Panglima Gocah Pahlawan bersama pasukannya pergi memerangi Kerajaan Haru di Sumatera Timur pada tahun 1612 M dan berhasil menaklukkan kerajaan ini. Pada tahun 1630 ia kembali bersama pasukannya untuk melumpuhkan sisa kekuatan Haru di Deli Tua. Setelah seluruh kekuasaan Haru berhasil dilumpuhkan. Tuanku Panglima Gocah Pahlawan kemudian menjadi penguasa daerah taklukan tersebut sebagai wakil resmi Kerajaan Aceh dengan wilayah membentang dari Tamiang hingga Rokan. Atas bantuan Kesultanan Aceh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan berhasil memperkuat kedudukannya di Sumatera Timur dengan menaklukkan kerajaan kecil yang ada di daerah tersebut.

      Pada tahun 1653 Tuanku Panglima Perunggit menjadi Sultan Deli setelah menggantikan Tuanku Panglima Gocah Pahlawan yang telah meninggal dunia.

      Pada tahun 1669 Kesultanan Deli memisahkan diri dari Kesultanan Aceh yang memanfaatkan situasi Aceh yang sedang melemah karena dipimpin oleh Taj al Alam Tsafiah al Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar “Kejeruan Padang”. Tuanku Panglima Perunggit mangkat sampai tahun 1700 M.

      Pada tahun 1780 Kesultanan Deli kembali berada dalam kekuasaan Aceh. Ketika Sultan Osman Perkasa Alam naik tahta pada tahun 1825, Kesultanan Deli kembali menguat dan melepaskan diri untuk kedua kalinya dari kekuasaan Aceh. Negeri kecil sekitarnya seperti Buluh Cina, Sunggal, Langkat dan Suka Piring ditaklukkan dan menjadi wilayah Deli. Namun independensi Deli dari Aceh tidak berlangsung lama
Pada tahun 1854 Kesultanan Deli kembali ditaklukkan oleh Aceh dan Raja Osman Perkasa Alam diangkat sebagai wakil kerajaan Aceh. Setelah Raja Osman meninggal dunia.

      Pada tahun 1858 beliau digantikan oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam yang memerintah dari tahun 1861 hingga 1873.

Pada Masa Kolonial Belanda 

      Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Perkasa Alam, Kolonial Belanda yang dipimpin oleh Netcher datang ke Deli.

      Pada tahun 1858 Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak yaitu Sultan Al Sayyid Sharif Ismail menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada mereka. Pada tahun 1861 Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan Deli bebas untuk memberikan hak lahan kepada Belanda.

      Pada masa itulah Kesultanan Deli berkembang pesat. Perkembangannya dapat dilihat dari semakin kayanya pihak kesultanan yaitu dalam usaha perkebunan tembakau dan lainnya. Selain itu, beberapa bangunan peninggalan Kesultanan Deli juga menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu yaitu peninggalan Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.

      Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) berusaha melakukan perubahan sistem pemerintahan dan perekonomian. Perubahan sistem ekonomi yang dilakukan adalah pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan dengan cara meningkatkan hubungan dengan pihak swasta yang yang menyewa tanah untuk dijadikan perkebunan internasional. Hubungan tersebut hanya sebatas antara pemilik dan penyewa. Hasil perkebunan yang meningkat dan hasil penjualan yang sangat menguntungkan membuat pihak Belanda semakin ingin memperluas lahan yang telah ada. Pihak Belanda kemudian melakukan negosiasi baru untuk mendapatkan lahan yang lebih luas dan lebih baik lagi. Keuntungan ini tidak hanya didapati oleh pihak swasta saja, pihak kesultanan juga mendapat hasil yang sangat signifikan. Dana melimpah kesultanan saat itu digunakan untuk meperbaiki fasilitas pemerintahan, pertanian, perkebunan dan lainnya.

Pada Masa Jepang/Jepun

      Pada tarikh 12 Maret 1942 mendarat pasukan penjaga kaisar dari Jepang/Jepun yang sangat terlatih dan terpilih di Perupuk Tanjung Tiram (Batubara) di bawah pimpinan Jenderal Kono dan dari sana mereka segera menuju Medan. Sementara itu pasukan KNIL dan Belanda berhasil melarikan diri menuju Tanah Karo untuk bertahan di Gunung Setan (Tanah Alas). Namun di tengah jalan banyak orang pribumi yang merampas pakaian seragam Belanda itu dan kembali ke kampung. Karena sisa pasukan Belanda yang 3.000 orang itu tidak sanggup melawan pasukan Jepang/Jepun sebanyak 30.000 orang yang terlatih dan berpengalaman perang. Maka pada tarikh 29 Maret 1942 Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenson menyerah kepada Jepang.

      Sejak direbutnya Malaya, Tumasik dan Sumatera oleh Bala Tentara Jepang/Jepun, maka tanggung jawab pemerintahan dipikul oleh markas Bala Tentara ke 25 yang berkedudukan di Tumasik (Singapura).
Sampai sekitar April 1943 kesatuan pemerintahan masih dipegang oleh Bala Tentara ke 25 sebelum akhirnya dipindahkan ke Bukittinggi. Sejak itu pemerintahan administrasi Sumatera dan Malaya terpisah. Di Sumatera, Jepang/Jepun hampir tidak melakukan perubahan sistem pemerintahan yang ada. Setiap Residen disebut syu dan dibawah pengawasan seorang pejabat militer yang disebut gunseibu. Eksistensi kesultanan di Sumatera Timur masih tetap diakui. Bala Tentara ke 25 membagi Sumatera Timur menjadi 5 pusat konsentrasi militer Jepang yaitu sekitar Padang Brarang (Binjai), Sungai Karang (Galang, Deli Serdang) dan Kisaran (Asahan).

Pada Masa Revolusi Sumatera Timur.

      Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat yang dihasut oleh kaum komunis (PKI) terhadap penguasa kesultanan Melayu. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis (PKI) yang hendak menghapuskan sistem monarki dengan alasan anti feodal.

      Karena sulitnya komunikasi dan transportasi berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Teuku Muhammad Hasanselaku yaitu seorang Gubernur Sumatera serta Amir selaku Wakil Gubernur Sumatera dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada tarikh 6 Oktober 1945. Pada tarikh 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen. T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang Belanda di Medan.
Meletusnya revolusi sosial tidak terlepas dari sikap beberapa kelompok bangsawan yang tidak segera mendukung republik setelah adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Beberapa kelompok bangsawan tidak begitu antusias dengan pembentukan republik karena setelah Jepang/Jepun masuk, Jepang/Jepun mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Beberapa bangsawan merasa dirugikan dan berharap untuk mendapatkan haknya kembali dengan bekerja sama dengan NICA sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro republik. Walaupun saat itu juga banyak kaum bangsawan dan sultan yang mendukung kelompok pro republik seperti Amir Hamzah dari Kesultanan Langkat dan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah dari Kesultanan Serdang.


Kesultanan Deli Sekarang

      Sri Paduka Baginda Tuanku Sultan Mahmud Arya Lamanjiji Perkasa Alam atau cukup disingkat Tuanku Aji lahir pada tarikh 17 Agustus 1997 dan kini umurnya kurang lebih 19 tahun adalah Sultan Deli ke 14 yang memerintah sejak 22 Juli 2005. Dia adalah Sultan Deli termuda dalam sejarah. Sultan termuda sebelumnya adalah Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) yang diangkat saat berusia 15 tahun. Aria Mahmud Lamanjiji dinobatkan sebagai Sultan Deli ke 14 menggantikan ayahnya, Letkol Tito Otteman yang tewas akibat kecelakaan pesawat CN-235 di Bandara Malikus Saleh, Lhokseumawe. Saat dinobatkan Aria Lamanjiji sambil mengunyah permen. Maklum Aria Lamanjiji baru berumur 8 tahun. Wajar bila dia melakukan hal yang tidak lumrah saat hari bersejerah bagi dirinya dan Kesultanan Deli itu. Pelantikan berlangsung di Balairung Istana persis di hadapan peti mati ayahnya. Pelantikannya berdasarkan adat Melayu Deli.

Kesultanan Maguindanao


     Kesultanan Maguindanao berdiri pada 14 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Kuta Wato (sekarang Cotabato) di wilayah Pulau Mindanao sebelah barat.

    Kesultanan ini berkembang dari semenanjung Zamboanga sampai ke Teluk Sarangani. Pada masa kejayaannya kesultanan Maguindanao berkuasa seluruh Mindanao dan juga pulau yang berdekatan seperti Pulau Basilan dan lain lain.

     Orang yang memperkenalkan Islam di daerah ini yaitu yang bernama Syarif Muhammad Kabungsuwan dari Malaya dan kemudian mendirikan Kesultanan Maguindanao.


Sultan Dipatuan Kudarat 


    Sultan yang Maguindanao yang ke 7 yaitu Sultan Dipatuan Kudarat berjuang melawan penjajahan Spanyol sampai akhir hayatnya dan sekarang diakui sebagai pahlawan nasional Filipina dengan mendirikan Patung Sultan Dipatuan Kudarat. Sebelumnya wilayah Filipina dikuasai oleh kedatuan dan kerajaan Melayu yang berpusat di Manila dan Visayas.


     Sultan Kudarat lahir pada tahun 1580 M. Pada masanya Spanyol telah berkuasa semenjak kedatangan Ferdinand Magellan ke Cebu, wilayah Filipina yang sebelumnya dikuasai Kemaharajaan Cebu dan salah satu kerajaan Melayu di Filipina pada tahun 1521 M. Pada masa itu wilayah Filipina Selatan masih berdaulat sebab Spanyol hanya berkuasa di Pulau Luzon dengan pusatnya di Manila. Semenjak kecil Sultan Kudarat oleh kedua orang tuanya yaitu Rajah Buisan dan Putri Imbeg dari Jolo sudah dididik tentang kepemimpinan dan agama Islam. Sultan Kudarat berusaha melawan Spanyol yang bermaksud menaklukkan Lamitan, ibu kota Kesultanan Manguindanao. Ini terjadi pada masa ia sudah menjadi sultan sejak tahun 1619 M yang menggantikan ayahnya. Sultan Kudarat yang dikenal pemberani dan pintar ini memang dikenal penentang kolonialisme yang dilakukan Spanyol. Ia juga menentang perbudakan dan tidak menyukai jika seseorang yang sudah memeluk Islam dijadikan budak.


      Kesulitan menghadapi Sultan Kudarat akhirnya Spanyol membuat perjanjian damai yang isinya mengakui kekuasaan Sultan di Mindanao. Namun di lain pihak perjanjian itu harus membolehkan dan mengizinkan para pedagang dan misionaris masuk ke Filipina Selatan. Kehadiran para misionaris sebenarnya tidak disukai dirinya namun ia mempunyai kewajiban moral sebagai pemimpin di wilayahnya untuk melindungi mereka. Akan tetapi pernyataan yang diungkap oleh Alejandro Lopez yaitu seorang pendeta Katolik yang menjadi medium perjanjian dirinya dengan Spanyol tersinggung.Tiga tahun setelah itu sang Sultan kembali melawan Spanyol yang beralasan sudah menginjak harga diri Islam yang dilakukan oleh Spanyol . 


      Dan akhirnya Sultan Kudarat meninggal dunia pada tahun 1671 M.

Kesultanan Melaka




     Kesultanan Melaka merupakan kerajaan islam kedua di Nusantara. Kesultanan ini berdiri pada awal abad ke 15. Kesultanan ini cepat berkembang bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari Kesultanan Samudera Pasai yang kalah bersaing. Sejauh menyangkut penyebaran Islam di Tanah Melayu. Peranan Kesultanan Melaka sama sekali tidak dapat dikesampingkan dalam proses islamisasi karena konversi Melayu terjadi terutama selama periode Kesultanan Melaka pada abad ke 15.

     Kesultanan Melaka didirikan oleh Parameswara pada tahun 1405 sampai 1414 M. Parameswara berasal dari Sriwijaya dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu ia masih menganut agama Hindu. Ia melarikan diri ke Melaka karena kerajaannya di Tumasik yang runtuh akibat diserang Majapahit. Pada saat Melaka didirikan disitu terdapat penduduk asli dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih kurang tiga puluh keluarga. Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi. Oleh karena itu mereka berhasil mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian bersama penduduk asli tersebut rombongan pendatang mengubah Melaka menjadi sebuah kota yang ramai.

     Setelah memeluk Islam Parameswara mengganti namanya dengan nama Islam Muhammad Syah. Sultan pertama ini kemudian digantikan oleh Sultan Iskandar Syah pada tahun 1414 sampai 1424 M. Selanjutnya sultan yang berkuasa di Melaka adalah Sultan Muzaffar Syah (1424-1444 M), Sultan Mansur Syah (1444-1477 M), dan Sultan Mahmud Syah(1477-1511 M). Melaka didirikan melalui dua kali kekalahan dalam perang yang dialami oleh pendirinya Parameswara yang menikah dengan seorang putri dari Majapahit dan kemudian harus turut serta dalam perang saudara yang terjadi di kerajaan Majapahit setelah pemimpinnya Hayam Wuruk meninggal dunia. Parameswara yang kalah dalam perang akhirnya melarikan diri ke daerah Tumasik (Singapura) dan mendirikan sebuah Kerajaan bernama Tumasik. Namun tak lama setelah berdiri kerajaan ini diserang dan berhasil dikuasai oleh armada laut Majapahit. Untuk yang kedua kalinya Parameswara kalah dalam peperangan yang ia alami.

     Melihat kerajaanya hancur begitu saja akhirnya Parameswara memutuskan melarikan diri dan mencari daerah sebagai harapan baru untuk kedua kalinya. Setelah mencari akhirnya Parameswara memutuskan untuk mendirikan sebuah kerajaan di daerah Semenanjung Malaya kerajaan ini kemudian dikenal sebagai Kesultanan Melaka. Dengan semangat baru Parameswara kemudian berupaya untuk mengembangkan kerajaanya dengan membangun sebuah pelabuhan sebagai pusat perdagangan mengingat lokasi Kesultanan Melaka berada di lokasi yang strategis. Dari pelabuhan inilah harapan untuk Melaka untuk berjaya. Pedagang dari bangsa lain pada masa itu seperti Gujarat, Arab, Cina dan sebagainya bermunculan di pelabuhan Melaka. Pembangunan pelabuhan inilah kemudian yang menjadi faktor utama kejayaan Kesultanan Melaka.

    Dalam eksistensinya yang hanya mencakup satu abad Kesultanan Melaka mengalami pergantian pemimpin hingga empat kali setelah wafatnya Iskandar Syah. Tak lama setelah Iskandar Syah wafat kepemimpinan Kesultanan Melaka dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Muhammad Iskandar Syah atau lebih dikenal sebagai Megat Iskandar Syah. Di masa pemerintahanya yang hanya sepuluh tahun ia berhasil memajukan Kesultanan Melaka di bidang pelayaran dan berhasil menguasai jalur perdagangan di kawasan Selat Melaka dengan taktik perkawinan politik. Muhammad Iskandar Syah bahkan berhasil menguasai Samudra Pasai dengan mudah. Dengan menikahi seorang putri Samudra Pasai merupakan Kesultanan Islam pertama di Nusantara itu pun akhirnya tunduk pada Melaka.

      Kesultanan ini mengalami keruntuhan setelah Melaka dikuasai oleh Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque pada tahun 1511. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan pada 24 Agustus 1511 Melaka jatuh kepada Portugis. Sultan Mahmud Syah kemudian melarikan diri ke Bintan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pemerintahan baru. Perlawanan terhadap penaklukan Portugis berlanjut. Pada tahun 1513 Patih Yunus dengan pasukan dari Demak berkekuatan 100 kapal 5000 tentara mencoba menyerang Melaka namun serangan ini berhasil dikalahkan oleh Portugis. Selanjutnya untuk memperkuat posisinya di Melaka, Portugis menyisir dan menundukkan kawasan antara Selat Melaka. Pada tahun 1514 de Albuquerque berhasil menundukkan Kampar dan Raja Kampar menyatakan kesediaan dirinya sebagai bagian dari Portugis di Melaka.

    Pada tahun 1521 Portugis menyerang Pasai sekaligus meruntuhkan kesultanan yang juga merupakan sekutu dari Sultan Melaka. Dan pada tahun 1521 pasukan Portugis di bawah pimpinan de Albuquerque mencoba menyerang Bintan untuk meredam perlawanan Sultan Malaka, namun serangan ini dapat dipatahkan oleh Sultan Mahmud Syah. Namun dalam serangan berikutnya pada tahun 1526 Portugis berhasil membumihanguskan Bintan dan Sultan Melaka kemudian melarikan diri ke Kampar tempat dia wafat dua tahun kemudian. 

      Berdasarkan Sulalatus Salatin Sultan Mahmud Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah yang kemudian tinggal di Pahang beberapa saat sebelum menetap di Johor. Kemudian pada masa berikutnya para pewaris Sultan Melaka setelah Sultan Mahmud Syah lebih dikenal disebut dengan Sultan Johor.

Selangor Darul Ehsan


     Kesultanan Selangor di dirikan oleh Raja Lumu bin Daeng Celak atau Sultan Salehuddin Shah Ibni Al Marhum Yamtuan Muda Daeng Celak pada tahun 1756 M. Ia merupakan keturunan Bugis. Sebelum berdiri Selangor telah berada di bawah kekuasaan Melaka. Setelah Melaka mengalami masa kehancurannya, Selangor kemudian menjadi rebutan kerajaan Johor, Aceh dan juga Portugis. Sultan Salehuddin Shah berperan besar melepaskan Selangor dari kekuasaan Johor sehingga kemudian dapat berdiri sendiri.

     Sejarah Kesultanan Melayu Selangor bermula di Kuala Selangor. Namun tidak ada ketua kaum di Kuala Selangor. Hal itu telah menimbulkan keinginan orang Perak dan Kedah untuk menjadi Penghulu di kawasan itu. Malangnya tidak ada seorang pun daripada mereka telah diterima baik oleh penduduk Selangor itu sendiri. Keadaan ini sangat berbeda dengan kedatangan Raja Lumu yang telah diterima baik menjadi yang Di Pertua Negeri Selangor yang pertama.

     Peranan orang Bugis dalam sejarah ‎Malaysia cukup penting sekali. Hal ini dimulai dari pemekaran wilayah Kesultanan Johor Riau. Pada waktu itu Raja Kecil memerintah Johor Riau. Baginda mendirikan pusat pemerintahan di Siak Sri Indrapura. Hal ini menyebabkan Daeng Loklok bergelar Bendahara Husain ingin mengambil alih tempat pemerintahan Johor tetapi hasratnya tidak dipersetujui oleh Raja Kecil. Untuk mendapatkan dukungan/sokongan untuk mendapatkan hasratnya itu, Daeng Loklok kemudiannya menemui Raja Sulaiman untuk menggunakan pengaruh baginda bagi mendapatkan bantuan daripada lima adik beradik Raja Bugis yaitu Daeng Perani, Daeng Menambun, Daeng Merewah, Daeng Chelak, dan Daeng Kemasi.

     Raja Bugis menerima utusan daripada Raja Sulaiman tujuh buah armada perang Bugis terus menuju Riau untuk menyerang Raja Kecil. Dalam serangan itu Raja Kecil telah ditumpaskan dan baginda melarikan diri ke Lingga pada tahun 1728 M. Sebagai balasannya, Raja Sulaiman bersetuju untuk melantik Raja raja Bugis menjadi Yamtuan Besar atau Yang Dipertuan Muda bagi memerintah Johor, Riau, dan Lingga. Selepas Riau jatuh ke tangan Raja Kecil, Raja Bugis telah datang ke Selangor untuk mengumpulkan bala tentera dengan tujuan untuk menyerang Raja Kecil. Raja Bugis dengan 30 buah armada perangnya menuju Riau untuk menawannya kembali. Dalam perjalanan ke Riau, mereka telah menawan Linggi, sebuah daerah di Negeri Sembilan ‎yang pada ketika itu dikuasai Raja Kecil. Apabila mendapat tahu tentang penaklukan itu, Raja Kecil segera ke Linggi untuk menyerang balas.

    Angkatan tentera Bugis telah berpecah dengan 20 buah daripada kapal perangnya meneruskan perjalanan ke Riau dan diketuai oleh tiga orang dari lima adik beradik Raja Bugis. Raja Sulaiman dari Pahang turut datang memberikan bantuan untuk menawan Riau. Dalam peperangan ini mereka telah berhasil menawan Riau. Raja Sulaiman dan Raja Bugis kemudiannya telah mendirikan kerajaan bersama.

     Kegagalan mempertahankan Riau dan menawan Linggi semula dari tangan Bugis menyebabkan Raja Kecil kembali ke Siak. Pada tahun 1729 Bugis sekali lagi menyerang Raja Kecil di Siak semasa Raja Kecil ingin memindahkan alat kebesaran Di Johor yaitu sebuah meriam ke Siak. Setelah berhasil mengambil alat kebesaran tersebut semula Raja Sulaiman kemudiannya ditabalkan sebagai Sultan Johor dengan membawa gelaran Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah yang memerintah Johor, Pahang, Riau, dan Linggi.

     Sultan Sulaiman telah melantik Daeng Marewah sebagai Yamtuan Muda Riau. Kemudian adik perempuan baginda, Tengku Tengah, dinikahkan dengan Daeng Parani yang mangkat di Kedah semasa menyerang Raja Kecil di sana. Seorang lagi adik Sultan Sulaiman, Tengku Mandak, dinikahkan dengan Daeng Chelak (1722-1760) yang dilantik sebagai Yamtuan Muda II Riau pada tahun 1730 an. Kemudian anak Daeng Parani, yaitu Daeng Kemboja, dilantik menjadi Yamtuan Muda III Riau (yang juga memerintah Linggi di Negeri Sembilan).

     Anak Daeng Chelak, Raja Haji, telah dilantik sebagai Yamtuan Muda IV Riau. Baginda yang hampir dapat menawan Melaka dari Belanda pada tahun 1784 mangkat setelah ditembak dengan peluru Lela oleh Belanda di Telok Ketapang, Melaka. Baginda dikenali sebagai Almarhum Telok Ketapang.

     Pada tahun 1730 an, seorang Bugis bernama Daeng Mateko yang berhubungan baik dengan Raja Siak mengganggu ketenteraman Selangor. Ini menyebabkan Daeng Chelak dengan angkatan perang dari Riau datang ke Kuala Selangor untuk menangani keadaan ini. Daeng Mateko dapat dikalahkan dan beliau kemudiannya melarikan diri ke Siak. Semenjak itu Daeng Chelak sentiasa berbolak balik dari Riau ke Kuala Selangor.

     Pada tahun 1742 Daeng Chelak ke Kuala Selangor dan beliau bersama sama dengan orang Bugis melancarkan serangan ke atas Perak. Beliau tinggal beberapa lama di Perak sebelum berpindah ke Selangor semula. Semasa berada di Kuala Selangor, Daeng Chelak telah diminta oleh penduduk setempat supaya tetap menetap di situ. Hal inilah rombongan dari Riau memanggil Daeng Chelak pulang ke Riau. Walau bagaimana pun Daeng Chelak telah meminta salah seorang putranya yaitu Raja Lumu datang ke Kuala Selangor. Daeng Chelak akhirnya mangkat pada tahun 1745.


   Ketika Sultan Salehuddin Shah mangkat pada tahun 1778 M, putranya yang bernama Raja Ibrahim Marhum Saleh diangkat sebagai Sultan II Selangor dengan gelar Sultan Ibrahim Shah (1778-1826 M). Semasa pemerintahannya Selangor pernah mengalami sejumlah peristiwa penting. Tepatnya pada tarikh 13 Juli 1784 M bala tentara Belanda menyerang Selangor hingga dapat menguasai Kota Kuala Selangor. Di samping itu Selangor pernah diintervensi oleh Inggris. Hal ini bermula dari kesepakatan kerja sama antara Selangor dengan Perak yang berujung pada perselisihan utang piutang. Robert Fullerton merupakan Gubernur Inggris di Pulau Pinang, melakukan intervensi dengan cara ikut serta menyelesaikan perselisihan di antara mereka.

     Pada tarikh 27 Oktober 1826 M, Raja Muda Selangor diangkat sebagai Sultan Selangor III dengan gelar Sultan Muhammad Shah (1826-1857 M). Ketika memerintah Sultan Muhammad Shah pernah mengalami masalah internal kesultanan. Sejumlah daerah di Selangor seperti Kuala Selangor, Klang, Bernam, Langat, dan Lakut. Hal itu terjadi karena Sultan dianggap oleh sebagian peneliti sejarah tidak mampu menguasai sultan sultan dan pembesar pembesar di daerah tersebut. Meski 31 tahun memerintah, Sultan telah mengembangkan perekonomian kesultanan. Salah satunya mendirikan pabrik biji timah di Ampang.

     Selanjutnya Raja Abdul Samad Raja Abdullah menjadi Sultan Selangor IV dengan gelar Sultan Abdul Samad (1857-1898 M). Ia merupakan anak dari saudara (keponakan) Sultan Muhammad Shah. Pada masa Sultan Abdul Samad, pabrik biji timah telah beroperasi, bahkan sudah mulai dipasarkan ke negeri negeri Selat (Singapore dan Pulau Penang) dan China.

     Pada tahun 1868 M, Sultan Abdul Samad mengangkat menantunya Tengku Dhiauddin ibni Almarhum Sultan Zainal Rashid (Tengku Kudin), sebagai Wakil Yamtuan Selangor. Tidak hanya itu Sultan Abdul Samad juga menyerahkan Langat menjadi milik menantunya itu. 

     Kemajuan perekonomian yang dialami Selangor menyebabkan negeri ini diminati oleh bangsa China. Sejumlah pedagang asal China ada yang melakukan “kerja sama gelap” dengan beberapa pembesar Selangor untuk mengakses kekayaan perekomian negeri ini (belum ditemukan data waktu kejadian ini). Akibat dari siasat negatif ini, Selangor mengalami suasana penuh pertikaian dan peperangan. Pada tahun 1874 M, pihak Inggris memaksa Sultan Abdul Samad untuk menerima Residen Inggris di Klang, Selangor. Dengan cara ini, Inggris dengan leluasa dapat mengintervensi kepentingan dalam negeri Selangor.‎ 

     Selanjutnya Raja Muda Sulaiman dilantik sebagai Sultan Selangor V dengan gelar Sultan Alauddin Sulaiman Shah (1898 - 1938 M). Pada masa pemerintahannya, Selangor mengalami kemajuan cukup pesat yang ditandai dengan pembangunan fisik berupa jalan raya dan landasan kereta api. Ketika itu program pembangunan rumah ditingkatkan, terutama di daerah Klang. Ia dikenal bijaksana dalam memimpin Selangor. Ketika usia pemerintahannya genap 40 tahun ia diberi sambutan yang sangat hangat dari seluruh rakyatnya berupa upacara Jubli Emas di Klang. Pada tarikh 30 Maret 1938 M, ia mangkat dan dimakamkan di Klang dengan gelar “Marhum Atiqullah”.

     Selanjutnya, Putra Sultan Alauddin Sulaiman Shah dilantik sebagai Sultan Selangor VI dengan gelar Sultan Hisamuddin Alam Shah (1938-1942 M). Masa pemerintahan Sultan Hisamuddin Alam Shah tidak begitu lama hanya empat tahun. Hal itu disebabkan karena pada tahun 1942, ia dipaksa turun oleh tentara Jepang yang sebelumnya mampu menguasai seluruh kerajaan Melayu termasuk Selangor.

     Pemerintah Jepang kemudian melantik kakak Sultan Hisamuddin Alam Shah, Tengku Musauddin sebagai Sultan Selangor VII dengan gelar Sultan Musa Ghiatuddin Riayat Shah (1942-1945 M). Pihak Jepang memberikan syarat agar Sultan Hisamuddin Alam Shah mau membantu kakaknya dalam tata kelola pemerintahan. 

     Pada tahun 1945 M terjadi perubahan struktur pemerintahan Selangor. Ketika itu Inggris menguasai kerajaan kerajaan di Semenanjung Malaya, termasuk Selangor. Salah satu bentuk penguasaan Inggris adalah menuntut agar Sultan Hisamuddin Alam Shah kembali memimpin di Selangor. Pada tarikh 31 Agustus 1957 M, Sultan Hisamuddin dilantik sebagai Timbalan Yang Dipertuan Agong Negara Persekutuan Tanah Melayu, sementara itu jabatan Yang Dipertuan Agong pertama kali dipegang oleh Yang di Pertuan Besar Negeri Sembilan, Tuanku Abdul Rahman Ibni Al Marhum Tuanku Muhammad. Ketika Tuanku Abdul Rahman mangkat pada tarikh 1 April 1960 M, Sultan Hisamuddin Alam Shah dilantik sebagai Yang Dipertuan Agong yang kedua. Lima bulan kemudian Sultan Hisamuddin mangkat tepatnya pada tarikh 1 September 1960 M.

     Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Putra Sulung Sultan Hisamuddin yaitu Raja Abdul Aziz sebagai Sultan Selangor IX dengan gelar Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah (1960 - 2001 M). Ketika berkuasa, ia telah banyak melakukan perubahan dan memberikan kemajuan yang sangat besar bagi rakyat Selangor.

     Pada tarikh 1 Februari 1974, Kuala Lumpur menjadi Wilayah Persekutuan sehingga ibukota Selangor dipindah ke Shah Alam pada tahun 1978. Namun pusat Kesultanan Selangor terletak di Klang. Pada tarikh 22 November 2001 M, Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah meninggal. Putranya yang bernama Tengku Idris Shah kemudian diangkat sebagai Sultan Selangor X dengan gelar Sultan Sharafuddin Idris Shah (2001 M – Sekarang).




Baca Artikel Lainnya