Selasa, 09 Mei 2017

Siak Sri Indrapura


      Kesultanan Siak Sri Indrapura berdiri tahun 1723-1946 M yang didirikan oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah, putra Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dan isterinya Encik Pong. Dengan Pusat Kerajaan di Buantan. Selama lebih dari 20 tahun pemerintahan di Buantan Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah yang dipertuan Raja Kecil, telah menempatkan dasar dari sebuah kerajaan yang kelak akan berkembang dibawah pemerintahan keturunannya. Hubungan perdagangan diatur dengan baik sehingga negeri yang baru berkembang itu berkembang dengan cepat dan dikunjungi oleh pedagang dari Pesisir Timur Sumatera. Sultan mangkat pada tahun 1746 M dan diberi gelar Mahrum Buantan.

      Sultan ini mempunyai tiga orang putra yaitu Tengku Alam bergelar Yang di Pertuan Muda, Tengku Tengah (meninggal sebelum dewasa) dan Tengku Buang Asmara Bergelar Tengku Mahkota. Diakhir hayatnya, meletus perang saudara yang mana kedua puteranya berselisih faham. Hal ini menyebabkan Tengku Alam yang dipertuan Muda akhirnya meninggalkan Buantan. Pemerintahan/pihak kerajaan Kesultanan Siak dilanjutkan oleh Tengku Buang Asmara, Tengku Mahkota dengan gelar Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1765 M). Sekitar tahun 1750 M, Sultan memindahkan ibukota ke hulu negeri Buantan pada sebuah tempat bernama Mempura yang terletak pada sebuah anak sungai yang bernama Sungai Mempura Besar. Setelah beliau memerintah selama kurang lebih 19 tahun dan setelah Kerajaan Siak kukuh, pada tahun 1765 M beliau mangkat dan diberi gelar Marhum Mempura Besar. 

      Pada masa Sultan ke IX Pemerintahan Kesultanan Siak dipimpin oleh Said Ismail dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1827-1864 M). Beliau adalah menantu dari Sultan Said Ali. Pada masa beliau pusat Kerajaan dipindahkan ke Kota Siak Sri Indrapura dan ditandatanganinya "Traktat Siak" dengan Hindia Belanda yang berisi bahwa Kerajaan Siak takluk kepada Belanda. Beliau mangkat dan diberi gelar Marhum Indrapura. Selanjutnya Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I (1864-1889 M) yang memerintah di Kerajaan Siak. Pada masa beliau, Mahkota Kerajaan Siak dibuat, sehingga pada saat beliau wafat dianugrahi gelar Marhum Mahkota. 


     Pada masa Sultan ke XI yaitu Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908 M, maka dibangunlah Istana yang megah nan indah yang terletak di Kota Siak dan Istana ini diberi nama Istana Asserayyah Al Hasyimiah yang dibangunpada tahun 1889 M. Pembuatan Istana ditukangi oleh seorang arsitektur Jerman yang bernama Vande Morte. Beliau juga mendirikan Balai Kerapatan Tinggi ataupun Balairung Sri yang dijadikan ruang kerja Sultan, Aparatur Pemerintahan serta tempat Penobatan dan Mahkamah pengadilan. Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin Mangkat pada tahun 1908 di Singapura dan jenazahnya dibawa ke Siak yang kemudian dimakamkan di komplek Pemakaman Koto Tinggi. Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi, dan dimasa inilalah beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan ke 12 dengan gelar Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir dekenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani ( Sultan Syarif Kasim II ).


     Sultan Syarif Kasim II sangat berjasa bagi Indonesia. Saat menyatakan kesetiaan pada Republik Indonesia, mahkota, pedang, dan sebagian hartanya diserahkan kepada Soekarno-Hatta.

      Bicara tentang sosok Sultan Syarif Kasim II tak bisa dipisahkan dari Kesultanan Siak Sri Indrapura yang merupakan kesultanan terbesar di Riau. Kesultanan itu didirikan oleh Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah pada 1723.

     Sultan Syarif Kasim II yang lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 adalah Sultan Siak Sri Indrapura ke-12. Dia menggantikan ayahnya, Sultan Assyaidin Hasyim I Abdul Jalil Syaifuddin yang wafat pada 1908. Namun, dia baru dinobatkan menjadi sultan pada 13 Maret 1915, dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin. Dia berkuasa hingga 1946.

    Sejak dinobatkan sebagai sultan, dia menegaskan sikap bahwa Kerajaan Siak adalah kerajaan yang berkedudukan sejajar dengan Belanda. Hal ini tidak seperti isi kontrak perjanjian antara Kesultanan Siak dengan Belanda yang menyatakan bahwa Siak adalah milik Kerajaan Belanda yang dipinjamkan kepada sultan.

     Demi mencerdaskan rakyatnya, Sultan Syarif Kasim II menyelenggarakan program pendidikan dengan mendirikan Hollandsch Inlandsche School (HIS) di samping sekolah berbahasa melayu yang diperuntukkan bagi semua lapisan penduduk.

      Untuk mempermudah transportasi bagi para siswa, dia membuat perahu penyeberangan gratis. Bahkan, bagi para siswa yang berbakat diberikan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke luar daerah seperti Medan, Padang, dan Batavia.

      Dia juga mendirikan sekolah agama khusus laki-laki dengan nama Taufiqiah Al-Hasyimah. Tak tanggung-tanggung, tenaga pengajar didatangkan dari Padang dan Mesir.

     Selama memimpin, dia sangat menentang dan menolak kebijakan Belanda yang mewajibkan agar rakyat melakukan kerja rodi. Penentangan ini oleh pihak Belanda dianggap sebagai penolakan pribadi Sultan.

      Belanda tak bisa terima. Sultan Syarif Kasim II dianggap memberontak. Untuk menumpas pemberontakan itu, Belanda melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk. Bahkan, Belanda mendatangkan bala bantuan di bawah pimpinan Letnan Leitser yang telah berpengalaman dalam Perang Aceh.

      Namun, usaha Leitser untuk menumpas pemberontakan tersebut gagal. Bahkan, Leitser tewas bunuh diri pada 1932.

      Di masa pendudukan Jepang, Sultan Syarif Kasim II juga tetap konsisten membela rakyatnya agar menolak untuk menjadi tenaga Romusha.

      Setelah mendapat kabar Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirim surat kepada Soekarno-Hatta. Surat itu berisi tentang kesetiaan dan dukungan kepada Pemerintah RI.

      Sebagai mahar, dia disebut menyerahkan harta kekayaannya untuk perjuangan senilai 13 juta gulden. Dia juga disebut menyerahkan mahkota dan pedang Kesultanan Siak.

      Pada Oktober 1945, Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) di Siak, yang dipimpin Dr Tobing. Dia lalu membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik.

Tidak ada komentar:

Baca Artikel Lainnya