Senin, 08 Mei 2017

Kesultanan Melayu Deli


     Kesultanan Deli berdiri di kota Medan pada abad ke 17 yaitu pada tahun 1632 Masehi. Kesultanan Deli oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan.

      Sejarahnya Tuanku Panglima Gocah Pahlawan bersama pasukannya pergi memerangi Kerajaan Haru di Sumatera Timur pada tahun 1612 M dan berhasil menaklukkan kerajaan ini. Pada tahun 1630 ia kembali bersama pasukannya untuk melumpuhkan sisa kekuatan Haru di Deli Tua. Setelah seluruh kekuasaan Haru berhasil dilumpuhkan. Tuanku Panglima Gocah Pahlawan kemudian menjadi penguasa daerah taklukan tersebut sebagai wakil resmi Kerajaan Aceh dengan wilayah membentang dari Tamiang hingga Rokan. Atas bantuan Kesultanan Aceh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan berhasil memperkuat kedudukannya di Sumatera Timur dengan menaklukkan kerajaan kecil yang ada di daerah tersebut.

      Pada tahun 1653 Tuanku Panglima Perunggit menjadi Sultan Deli setelah menggantikan Tuanku Panglima Gocah Pahlawan yang telah meninggal dunia.

      Pada tahun 1669 Kesultanan Deli memisahkan diri dari Kesultanan Aceh yang memanfaatkan situasi Aceh yang sedang melemah karena dipimpin oleh Taj al Alam Tsafiah al Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar “Kejeruan Padang”. Tuanku Panglima Perunggit mangkat sampai tahun 1700 M.

      Pada tahun 1780 Kesultanan Deli kembali berada dalam kekuasaan Aceh. Ketika Sultan Osman Perkasa Alam naik tahta pada tahun 1825, Kesultanan Deli kembali menguat dan melepaskan diri untuk kedua kalinya dari kekuasaan Aceh. Negeri kecil sekitarnya seperti Buluh Cina, Sunggal, Langkat dan Suka Piring ditaklukkan dan menjadi wilayah Deli. Namun independensi Deli dari Aceh tidak berlangsung lama
Pada tahun 1854 Kesultanan Deli kembali ditaklukkan oleh Aceh dan Raja Osman Perkasa Alam diangkat sebagai wakil kerajaan Aceh. Setelah Raja Osman meninggal dunia.

      Pada tahun 1858 beliau digantikan oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam yang memerintah dari tahun 1861 hingga 1873.

Pada Masa Kolonial Belanda 

      Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Perkasa Alam, Kolonial Belanda yang dipimpin oleh Netcher datang ke Deli.

      Pada tahun 1858 Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak yaitu Sultan Al Sayyid Sharif Ismail menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada mereka. Pada tahun 1861 Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan Deli bebas untuk memberikan hak lahan kepada Belanda.

      Pada masa itulah Kesultanan Deli berkembang pesat. Perkembangannya dapat dilihat dari semakin kayanya pihak kesultanan yaitu dalam usaha perkebunan tembakau dan lainnya. Selain itu, beberapa bangunan peninggalan Kesultanan Deli juga menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu yaitu peninggalan Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.

      Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) berusaha melakukan perubahan sistem pemerintahan dan perekonomian. Perubahan sistem ekonomi yang dilakukan adalah pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan dengan cara meningkatkan hubungan dengan pihak swasta yang yang menyewa tanah untuk dijadikan perkebunan internasional. Hubungan tersebut hanya sebatas antara pemilik dan penyewa. Hasil perkebunan yang meningkat dan hasil penjualan yang sangat menguntungkan membuat pihak Belanda semakin ingin memperluas lahan yang telah ada. Pihak Belanda kemudian melakukan negosiasi baru untuk mendapatkan lahan yang lebih luas dan lebih baik lagi. Keuntungan ini tidak hanya didapati oleh pihak swasta saja, pihak kesultanan juga mendapat hasil yang sangat signifikan. Dana melimpah kesultanan saat itu digunakan untuk meperbaiki fasilitas pemerintahan, pertanian, perkebunan dan lainnya.

Pada Masa Jepang/Jepun

      Pada tarikh 12 Maret 1942 mendarat pasukan penjaga kaisar dari Jepang/Jepun yang sangat terlatih dan terpilih di Perupuk Tanjung Tiram (Batubara) di bawah pimpinan Jenderal Kono dan dari sana mereka segera menuju Medan. Sementara itu pasukan KNIL dan Belanda berhasil melarikan diri menuju Tanah Karo untuk bertahan di Gunung Setan (Tanah Alas). Namun di tengah jalan banyak orang pribumi yang merampas pakaian seragam Belanda itu dan kembali ke kampung. Karena sisa pasukan Belanda yang 3.000 orang itu tidak sanggup melawan pasukan Jepang/Jepun sebanyak 30.000 orang yang terlatih dan berpengalaman perang. Maka pada tarikh 29 Maret 1942 Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenson menyerah kepada Jepang.

      Sejak direbutnya Malaya, Tumasik dan Sumatera oleh Bala Tentara Jepang/Jepun, maka tanggung jawab pemerintahan dipikul oleh markas Bala Tentara ke 25 yang berkedudukan di Tumasik (Singapura).
Sampai sekitar April 1943 kesatuan pemerintahan masih dipegang oleh Bala Tentara ke 25 sebelum akhirnya dipindahkan ke Bukittinggi. Sejak itu pemerintahan administrasi Sumatera dan Malaya terpisah. Di Sumatera, Jepang/Jepun hampir tidak melakukan perubahan sistem pemerintahan yang ada. Setiap Residen disebut syu dan dibawah pengawasan seorang pejabat militer yang disebut gunseibu. Eksistensi kesultanan di Sumatera Timur masih tetap diakui. Bala Tentara ke 25 membagi Sumatera Timur menjadi 5 pusat konsentrasi militer Jepang yaitu sekitar Padang Brarang (Binjai), Sungai Karang (Galang, Deli Serdang) dan Kisaran (Asahan).

Pada Masa Revolusi Sumatera Timur.

      Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat yang dihasut oleh kaum komunis (PKI) terhadap penguasa kesultanan Melayu. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis (PKI) yang hendak menghapuskan sistem monarki dengan alasan anti feodal.

      Karena sulitnya komunikasi dan transportasi berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Teuku Muhammad Hasanselaku yaitu seorang Gubernur Sumatera serta Amir selaku Wakil Gubernur Sumatera dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada tarikh 6 Oktober 1945. Pada tarikh 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen. T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang Belanda di Medan.
Meletusnya revolusi sosial tidak terlepas dari sikap beberapa kelompok bangsawan yang tidak segera mendukung republik setelah adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Beberapa kelompok bangsawan tidak begitu antusias dengan pembentukan republik karena setelah Jepang/Jepun masuk, Jepang/Jepun mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Beberapa bangsawan merasa dirugikan dan berharap untuk mendapatkan haknya kembali dengan bekerja sama dengan NICA sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro republik. Walaupun saat itu juga banyak kaum bangsawan dan sultan yang mendukung kelompok pro republik seperti Amir Hamzah dari Kesultanan Langkat dan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah dari Kesultanan Serdang.


Kesultanan Deli Sekarang

      Sri Paduka Baginda Tuanku Sultan Mahmud Arya Lamanjiji Perkasa Alam atau cukup disingkat Tuanku Aji lahir pada tarikh 17 Agustus 1997 dan kini umurnya kurang lebih 19 tahun adalah Sultan Deli ke 14 yang memerintah sejak 22 Juli 2005. Dia adalah Sultan Deli termuda dalam sejarah. Sultan termuda sebelumnya adalah Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) yang diangkat saat berusia 15 tahun. Aria Mahmud Lamanjiji dinobatkan sebagai Sultan Deli ke 14 menggantikan ayahnya, Letkol Tito Otteman yang tewas akibat kecelakaan pesawat CN-235 di Bandara Malikus Saleh, Lhokseumawe. Saat dinobatkan Aria Lamanjiji sambil mengunyah permen. Maklum Aria Lamanjiji baru berumur 8 tahun. Wajar bila dia melakukan hal yang tidak lumrah saat hari bersejerah bagi dirinya dan Kesultanan Deli itu. Pelantikan berlangsung di Balairung Istana persis di hadapan peti mati ayahnya. Pelantikannya berdasarkan adat Melayu Deli.

Tidak ada komentar:

Baca Artikel Lainnya