Kesultanan Deli
berdiri di kota Medan pada abad ke 17 yaitu pada tahun 1632 Masehi.
Kesultanan Deli oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan.
Sejarahnya
Tuanku Panglima Gocah Pahlawan bersama pasukannya pergi memerangi
Kerajaan Haru di Sumatera Timur pada tahun 1612 M dan berhasil
menaklukkan kerajaan ini. Pada tahun 1630 ia kembali bersama pasukannya
untuk melumpuhkan sisa kekuatan Haru di Deli Tua. Setelah seluruh
kekuasaan Haru berhasil dilumpuhkan. Tuanku Panglima Gocah Pahlawan
kemudian menjadi penguasa daerah taklukan tersebut sebagai wakil resmi
Kerajaan Aceh dengan wilayah membentang dari Tamiang hingga Rokan. Atas
bantuan Kesultanan Aceh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan berhasil
memperkuat kedudukannya di Sumatera Timur dengan menaklukkan kerajaan
kecil yang ada di daerah tersebut.
Pada tahun 1653 Tuanku
Panglima Perunggit menjadi Sultan Deli setelah menggantikan Tuanku
Panglima Gocah Pahlawan yang telah meninggal dunia.
Pada tahun
1669 Kesultanan Deli memisahkan diri dari Kesultanan Aceh yang
memanfaatkan situasi Aceh yang sedang melemah karena dipimpin oleh Taj
al Alam Tsafiah al Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia, beliau
digantikan oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar
“Kejeruan Padang”. Tuanku Panglima Perunggit mangkat sampai tahun 1700
M.
Pada tahun 1780 Kesultanan Deli kembali berada dalam kekuasaan
Aceh. Ketika Sultan Osman Perkasa Alam naik tahta pada tahun 1825,
Kesultanan Deli kembali menguat dan melepaskan diri untuk kedua kalinya
dari kekuasaan Aceh. Negeri kecil sekitarnya seperti Buluh Cina,
Sunggal, Langkat dan Suka Piring ditaklukkan dan menjadi wilayah Deli.
Namun independensi Deli dari Aceh tidak berlangsung lama
Pada
tahun 1854 Kesultanan Deli kembali ditaklukkan oleh Aceh dan Raja Osman
Perkasa Alam diangkat sebagai wakil kerajaan Aceh. Setelah Raja Osman
meninggal dunia.
Pada tahun 1858 beliau digantikan oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam yang memerintah dari tahun 1861 hingga 1873.
Pada Masa Kolonial Belanda
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Perkasa Alam, Kolonial Belanda yang dipimpin oleh Netcher datang ke Deli.
Pada tahun 1858 Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak
yaitu Sultan Al Sayyid Sharif Ismail menyerahkan tanah kekuasaannya
tersebut kepada mereka. Pada tahun 1861 Kesultanan Deli secara resmi
diakui merdeka dari Siak maupun Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan Deli
bebas untuk memberikan hak lahan kepada Belanda.
Pada masa itulah
Kesultanan Deli berkembang pesat. Perkembangannya dapat dilihat dari
semakin kayanya pihak kesultanan yaitu dalam usaha perkebunan tembakau
dan lainnya. Selain itu, beberapa bangunan peninggalan Kesultanan Deli
juga menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu yaitu
peninggalan Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.
Sultan Ma'moen
Al Rasyid (1873-1924) berusaha melakukan perubahan sistem pemerintahan
dan perekonomian. Perubahan sistem ekonomi yang dilakukan adalah
pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan dengan cara
meningkatkan hubungan dengan pihak swasta yang yang menyewa tanah untuk
dijadikan perkebunan internasional. Hubungan tersebut hanya sebatas
antara pemilik dan penyewa. Hasil perkebunan yang meningkat dan hasil
penjualan yang sangat menguntungkan membuat pihak Belanda semakin ingin
memperluas lahan yang telah ada. Pihak Belanda kemudian melakukan
negosiasi baru untuk mendapatkan lahan yang lebih luas dan lebih baik
lagi. Keuntungan ini tidak hanya didapati oleh pihak swasta saja, pihak
kesultanan juga mendapat hasil yang sangat signifikan. Dana melimpah
kesultanan saat itu digunakan untuk meperbaiki fasilitas pemerintahan,
pertanian, perkebunan dan lainnya.
Pada Masa Jepang/Jepun
Pada tarikh 12 Maret 1942 mendarat pasukan penjaga kaisar dari
Jepang/Jepun yang sangat terlatih dan terpilih di Perupuk Tanjung Tiram
(Batubara) di bawah pimpinan Jenderal Kono dan dari sana mereka segera
menuju Medan. Sementara itu pasukan KNIL dan Belanda berhasil melarikan
diri menuju Tanah Karo untuk bertahan di Gunung Setan (Tanah Alas).
Namun di tengah jalan banyak orang pribumi yang merampas pakaian seragam
Belanda itu dan kembali ke kampung. Karena sisa pasukan Belanda yang
3.000 orang itu tidak sanggup melawan pasukan Jepang/Jepun sebanyak
30.000 orang yang terlatih dan berpengalaman perang. Maka pada tarikh 29
Maret 1942 Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenson menyerah kepada
Jepang.
Sejak direbutnya Malaya, Tumasik dan Sumatera oleh Bala
Tentara Jepang/Jepun, maka tanggung jawab pemerintahan dipikul oleh
markas Bala Tentara ke 25 yang berkedudukan di Tumasik (Singapura).
Sampai sekitar April 1943 kesatuan pemerintahan masih dipegang oleh
Bala Tentara ke 25 sebelum akhirnya dipindahkan ke Bukittinggi. Sejak
itu pemerintahan administrasi Sumatera dan Malaya terpisah. Di Sumatera,
Jepang/Jepun hampir tidak melakukan perubahan sistem pemerintahan yang
ada. Setiap Residen disebut syu dan dibawah pengawasan seorang pejabat
militer yang disebut gunseibu. Eksistensi kesultanan di Sumatera Timur
masih tetap diakui. Bala Tentara ke 25 membagi Sumatera Timur menjadi 5
pusat konsentrasi militer Jepang yaitu sekitar Padang Brarang (Binjai),
Sungai Karang (Galang, Deli Serdang) dan Kisaran (Asahan).
Pada Masa Revolusi Sumatera Timur.
Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur
oleh rakyat yang dihasut oleh kaum komunis (PKI) terhadap penguasa
kesultanan Melayu. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis (PKI)
yang hendak menghapuskan sistem monarki dengan alasan anti feodal.
Karena sulitnya komunikasi dan transportasi berita proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Teuku Muhammad Hasanselaku yaitu
seorang Gubernur Sumatera serta Amir selaku Wakil Gubernur Sumatera dan
diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada
tarikh 6 Oktober 1945. Pada tarikh 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah
pimpinan Brigjen. T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan
AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil
alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang Belanda di
Medan.
Meletusnya revolusi sosial tidak terlepas dari sikap
beberapa kelompok bangsawan yang tidak segera mendukung republik setelah
adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Beberapa kelompok bangsawan
tidak begitu antusias dengan pembentukan republik karena setelah
Jepang/Jepun masuk, Jepang/Jepun mencabut semua hak istimewa kaum
bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Beberapa
bangsawan merasa dirugikan dan berharap untuk mendapatkan haknya kembali
dengan bekerja sama dengan NICA sehingga semakin menjauhkan diri dari
pihak pro republik. Walaupun saat itu juga banyak kaum bangsawan dan
sultan yang mendukung kelompok pro republik seperti Amir Hamzah dari
Kesultanan Langkat dan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah dari Kesultanan
Serdang.
Kesultanan Deli Sekarang
Sri Paduka Baginda Tuanku Sultan
Mahmud Arya Lamanjiji Perkasa Alam atau cukup disingkat Tuanku Aji lahir
pada tarikh 17 Agustus 1997 dan kini umurnya kurang lebih 19 tahun
adalah Sultan Deli ke 14 yang memerintah sejak 22 Juli 2005. Dia adalah
Sultan Deli termuda dalam sejarah. Sultan termuda sebelumnya adalah
Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) yang diangkat saat berusia 15
tahun. Aria Mahmud Lamanjiji dinobatkan sebagai Sultan Deli ke 14
menggantikan ayahnya, Letkol Tito Otteman yang tewas akibat kecelakaan
pesawat CN-235 di Bandara Malikus Saleh, Lhokseumawe. Saat dinobatkan
Aria Lamanjiji sambil mengunyah permen. Maklum Aria Lamanjiji baru
berumur 8 tahun. Wajar bila dia melakukan hal yang tidak lumrah saat
hari bersejerah bagi dirinya dan Kesultanan Deli itu. Pelantikan
berlangsung di Balairung Istana persis di hadapan peti mati ayahnya.
Pelantikannya berdasarkan adat Melayu Deli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar