Selasa, 16 Mei 2017

Negeri Sembilan Darul Khusus


Pada abad ke 14 M orang Minangkabau di Pulau Sumatera merantau di Negeri Sembilan melalui Melaka dan sampai ke Rembau. Setelah orang Minangkabau mendatangi di Negeri Sembilan, Orang Asli Negeri Sembilan ini berhasil menarik perhatian oleh orang asli. Dengan itu berlakulah nikah kawin antara orang Minangkabau ini dengan penduduk asli dan keturunannya dinamakan suku Biduanda. Suku Biduanda ini adalah pewaris asal Negeri Sembilan dan apabila hendak memilih pemimpin maka hanya mereka dari suku Biduanda inilah yang akan dipilih. Kedatangan orang-orang Minangkabau banyak berasal dari kampung asal mereka. Kebanyakan berasal dari Tanah Datar dan Payakumbuh. Orang asli Negeri Sembilan terdapat suku asli wilayah tersebut seperti suku Sakai, Semang dan Jakun. Mereka hidup berpindah pindah, memburu, mengambil hasil hutan dan ada yang hidup sebagai petani. 



Sebelum terbentuknya Negeri Sembilan, negeri ini merupakan sebuah wilayah yang berada di bawah naungan pemerintahan kesultanan Johor. Di wilayah tersebut, terdapat beberapa daerah yang dipimpin seorang penghulu dan dibantu oleh Datuk Lembaga. Penghulu yang menguasai setiap daerah yang memperoleh mandat daripada Sultan Johor. Negeri Sembilan dikatakan memiliki sejarah yang kompleks. Bukan saja dari segi adat, akan tetapi ada dari segi geografi. Negeri Sembilan merujuk kepada Persekutuan Sembilan Negeri yang menjadi sebuah kesatuan politik. Berdasarkan salah satu catatan sejarah, Negeri Sembilan pada awalnya dikatakan terdiri dari sembilan negeri yaitu Sungai Ujong, Rembau, Johol, Jelebu, Naning, Kelang (kini Klang), Hulu Pahang, Jelai dan Hulu Muar. Dari sembilan negeri itu, ada dua daerah yang menjadi permasalahan tentang kedudukannya dalam Persekutuan Negeri Sembilan yaitu Hulu Pahang dan Jelai. Permasalahan yang seringkali terjadi adalah antara jarak kedudukannya dengan daerah lain di Negeri Sembilan yaitu daerah yang jauh dan daerah pinggiran.

Seringkali dinyatakan dalam sejarah, Melaka menguasai negeri Melayu. Begitu juga apabila kesultanan Johor meneruskan keagungan Kesultanan Melaka, Kesultanann Johor dapat menguasai negeri Melayu pula. Ketika Kesultanan Johor dalam keadaan lemah, negeri naungan Johor telah membebaskan diri dari kesultanan Johor. Pada tahun 1708 M, Putera Bendahara Padang Saujana, Tun Habib Abdul Majid yaitu Tun Zainal Abidin mengasaskan Kesultanan Terengganu dengan gelaran Sultan Zainal Abidin I.

Diikuti Selangor yang membebaskan diri dari Johor apabila Putera Yang Dipertuan Muda Johor, Daeng Chelak yaitu Raja Lumu mendapat Daulat dari Sultan Perak, Sultan Mahmud Shah. Raja Lumu kemudian mendirikan Kesultanan Selangor pada tahun 1766 M dengan gelaran Sultan Salehuddin Syah. Kelantan dan Negeri Sembilan turut sama membebaskan diri daripada naungan Johor sekitar tahun 1770 an M.

Tahun 1773 M merupakan tahun berdirinya Negeri Sembilan, apabila raja dari Pagaruyung yaitu Raja Melewar dijemput pembesar pembesar kerajaan Pagaruyung dan ditabalkan sebagai pemerintah dengan gelaran Yam Tuan atau Yang Dipertuan Besar.

Negeri Sembilan berpecah pada tahun 1869 M karena terjadi perebutan kuasa di antara putera Yam Tuan Besar Raja Radin, Tunku Antah dengan putera Yam Tuan Besar Raja Imam, Tunku Ahmad Tunggal, sekali gus menyebabkan berlakunya huru-hara di Rembau. Pada suatu kemudian, dilakukan oleh para pembesar untuk mencantumkan semula daerah yang berpecah, namun tidak berhasil. Proses itu hanya berhasil dilakukan pada tahun 1880 an M yang menyaksikan Gubernur Negeri negeri Selat, Frederick Weld memainkan peranan ke arah Negeri Sembilan sebagai sebuah unit politik.



Hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan

Datuk Perpatih nan Sebatang pada zaman dahulu konon kabarnya sudah pernah berlayar dan sampai ke Melaka serta singgah di Negeri Sembilan.

Negeri Sembilan Sekarang

Negeri Sembilan termasuk salah satu negara bagian yang menjadi negara Federasi Malaysia. Sebelah selatan berbatasan dengan Melaka dan Johor, sebelah timur berbatasan dengan Pahang, sebelah utara berbatasan dengan Selangor dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Melaka.

Penduduk bangsa Melayu yang kira-kira seperempat juta itu sebahagian besar masih mempunyai hubungan dengan daerah asalnya yaitu Minangkabau. Masih banyak adat istiadat Minangkabau yang masih belum hilang oleh mereka dan sebagian masih dipergunakan dalam tata cara hidupnya. Malahan beberapa keterangan dan adat-adat yang di Minangkabau sendiri sudah dilupakan pada mereka masih tetap segar dan masih dipergunakan. Hubungan sejarah ini sudah dimulai pada pertengahan abad kelima belas.

Pantun mereka berbunyi :

Leguh legah bunyi pedati
Pedati orang pergi ke Padang
Genta kerbau berbunyi juga
Biar sepiring dapat pagi
Walau sepinggan dapat petang
Pagaruyung teringat juga

Negeri Sembilan merupakan sebuah kerajaan tetapi pemerintahannya berdasarkan Konstitusi yang disana dikatakan Perlembagaan Negeri. Badan Legislatifnya bernama "Dewan Perhimpunan/Perundingan Negeri yang mempunyai anggota 24 orang. Anggota-anggota ini dipilih oleh rakyat dalam Pemilihan Umum yang disini dikatakan : Pilihan raya.

Pelaksanaan pemerintahan dilaksanakan oleh Menteri Besar yang didampingi oleh 8 orang anggotanya yang bernama : "Anggota Majelis Musyawarah Kerajaan Negeri". Gelaran raja ialah Duli Yang Mahamulia Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan. Dalam tahun 1970 itu yang memerintah adalah  Tuanku Ja'far ibni Almarhum Tuanku Abdul Rahman dan beliau adalah keturunan yang ke 11 dari Raja Malewar yang berasal dari Minangkabau dan memerintah antara tahun 1773 - 1795 M.

Pemerintahan Negeri Sembilan terbagi atas 6 daerah seperti kabupaten di Indonesia, yaitu: Seremban, Kuala Pilah, Port Dickson, Jelebu, Tampin dan Rembau. Ibukotanya adalah Seremban. Istana raja terdapat di ibukota Seremban ini bernama Istana Seri Menanti. Tetapi arsitekturnya tidak lagi dengan cara Minang melainkan sudah berkomposisi antara arsitektur Minang dan Melayu.


Kedatangan Minangkabau


Sebelum Negeri Sembilan bernama demikian di Melaka sudah berdiri sebuah kerajaan yang terkenal dalam sejarah. Dan pelabuhan Melaka menjadi pintu gerbang untuk menyusup kedaerah pedalaman tanah Semenanjung itu. Maka sebulum berdiri Negeri Sembilan datanglah rombongan demi rombongan dari Minangkabau dan tinggal menetap disini.

Rombongan Pertama
Mula-mula datanglah sebuah rombongan dengan pimpinan seorang datuk yang bergelar Datuk Raja dengan isterinya Tok Seri. Tetapi kurang jelas dari mana asal mereka di Minangkabau. Mereka dalam perjalanan ke Negeri Sembilan singgah di Siak kemudian meneruskan perjalanan menyeberang Selat Melaka terus ke Johor. Dari Johor mereka pergi ke Naning terus ke Rembau. Dan akhirnya menetap disebuah tempat yang bernama Londar Naga. Sebab disebut demikian karena disana ditemui kesan kesan alur naga. Sekarang tempat itu bernama Kampung Galau.

Rombongan Kedua
Pimpinan rombongan ini bergelar Datuk Raja juga dan berasal dari keluarga Datuk Bandaro Penghulu Alam dari Sungai Tarab. Rombongan ini menetap disebuah tempat yang kemudian terkenal dengan Kampung Sungai Layang.

Rombongan Ketiga
Rombongan ketiga ini datang dari Batusangkar oleh keluarga Datuk Makudum Sati di Sumanik. Mereka dua orang bersaudara yaitu Sutan Sumanik dan Johan Kebesaran. Rombongan ini dalam perjalanannya singgah juga di Siak, Melaka, dan Rembau. Kemudian membuat sebuah perkampungan yang bernama Tanjung Alam yang kemudian berganti dengan Gunung Pasir.

Rombongan Keempat
Rombongan ini datang dari Sarilamak (Payakumbuh), diketuai oleh Datuk Putih dan mereka menepat pada Sutan Sumanik yang sudah duluan membuka perkampungan di Negeri Sembilan ini. Datuk Putih terkenal sebagai seorang pawang atau bomoh yang ahli ilmu kebatinan. Beliaulah yang memberi nama Seri Menanti bagi tempat istana raja yang sekarang ini.

Kemudian berturut turut datang lagi rombongan lain-lainnya antaranya yang dicatat oleh sejarah Negeri Sembilan : Rombongan yang bermula mendiami Rembau datangnya dari Batu Hampar (Payakumbuh) dengan pengiringnya dari Batu Hampar sendiri dan dari Mungka. Nama beliau adalah Datuk Lelo balang. Kemudian menyusul lagi adik dari Datuk Lelo Balang bernama Datuk Laut Dalam dari Kampung Tiga Nenek.

Walaupun penduduk Negeri Sembilan mengakui ajaran-ajaran Datuk Perpatih nan Sebatang yang sangat populer disini tetapi mereka tidak membagi persukuan atas 4 bagian seperti di Minagkabau. Mungkin disebabkan situasi dan perkembangannya sebagai kata pepatah : Dekat mencari suku jauh mencari Hindu, maka suk -suku di Negeri Sembilan berasal dari luhak dari tempat datang mereka itu atau negeri asal datangnya.

Berdasarkan asal kedatangan mereka yang demikian terdapatlah 12 suku di Negeri Sembilan yaitu:
1. Tanah Datar
2. Batuhampar
3. Seri Lemak Pahang
4. Seri Lemak Minangkabau
5. Mungka
6. Payakumbuh
7. Seri Malanggang
8. Tigo Batu
9. Biduanda
10. Tigo Nenek
11. Anak Aceh
12. Batu Belang

Fakta-Fakta dan Problem

Sejarah Pada sebuah tempat yang bernama Sungai Udang kira-kira 23 mil dari Seremban menuju Port Dickson terdapat sebuah makam keramat. Disana didapati juga beberapa batu bersurat seperti tulisan batu bersurat yang terdapat di Batusangkar. Orang yang bermakam disana bernama Syekh Ahmad dan berasal dari Minangkabau. Ia meninggal dalam tahun 1467 M. Dan masih menjadi tebakan yang belum terjawab, mengapa kedatangan Sekh itu dahulu kesini dan dari luahk mana asalnya.

Raja Minangkabau

Dalam naskah pengiriman raja raja yang delapan orang antaranya dikirimkan ke Rembau, Negeri Sembilan bernama Malenggang Alam. Tetapi bilamana ditinjau sejarah negeri Sembilan raja Minangkabau pertama dikirimkan kesini Raja Mahmud yang kemudian bergelar Raja Malewar.

Raja Malewar memegang kekuasaan antara tahun 1773-1795 M. Beliau mendapat 2 orang anak Tengku Totok dan puteri bernama Tengku Aisah. Beliau ditabalkan di Penajis Rembau dan kemudian pindah ke istana Seri Menanti. Sehingga sekarang masih populer pepatah yang berbunyi :

Beraja ke Johor
Bertali ke Siak
Bertuan ke Minangkabau

Kedatangan beliau ke Negeri Sembilan membawa selembar rambut yang kalau dimasukkan ke dalam sebuah batil atau cerana akan memenuhi batil atau cerana itu. Benda pusaka itu masuh tetap dipergunakan bila menobatkan seorang raja baru. Yang mengherankan kenapa sesudah meninggalnya Raja Malewar dalam tahun 1795 tidak diangkat puteranya menjadi raja melainkan sekali lagi diminta seorang raja dari Minangkabau. Dan dikirimlah Raja Hitam dan dinobatlkan dalam tahun 1795 M. Raja Hitam kawin dengan puteri Raja Malewar yang bernama Tengku Aisyah sayang beliau tidak dikarunia putera.

Raja Hitam kawin dengan seorang perempuan lain bernama Encek Jingka. Dari isterinya itu beliau mendapat 4 orang putera/puteri bernama : Tengku alang Husin, Tengku Ngah, Tengku Ibrahim dan Tengku Alwi. Dan ketika beliau wafat pada tahun 1808 M mengherankan pula gantinya tidaklah diangkat salah seorang puteranya.

Tetapi sekali lagi dikirimkan perutusan ke Pagaruyung untuk meminta seorang raja baru. Dan dikirimlah Raja Lenggang dari Minagkabau dan besar kemungkinan inilah Raja Melenggang Alam yang dikirimkan dari Minangkabau dan tersebut dalam naskah pengiriman raja-raja yang delapan di Minangkabau.

Raja Lenggang memerintah antara tahun 1808-1824 M. Raja Lenggang kawin dengan kedua puteri anak raja Hitam dan mendapat putera dua orang bernama : Tengku Radin dan Tengku Imam. Ketika raja Lenggang meninggal dinobatkanlah Tengku Radin menggantikan almarhum ayah beliau. Dan inilah raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat oleh Pemegang Adat dan Undang yang lahir di Negeri Sembilan. Dan keturunan beliaulah yang turun temurun menjadi raja di Negeri Sembilan. Raja Radin digantikan oleh adiknya Raja Imam (1861-1869 M). Dan selanjutnya raja-raja yang memerintah di Negeri Sembilan : Tengku Ampuan Intan (1869-1872 M), Yang Dipertuan Antah (1872-1888 M), Tuanku Muhammad (1888-1933 M), Tuanku Abdul Rahman (1933-1960 M), Tuanku Munawir (1960-1967 M), Tuanku Ja'far dinobatkan pada tahun 1967 M.

Terbentuknya Negeri Sembilan

Semasa dahulu kerajaan negeri Sembilan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Minangkabau. Yang menjadi raja dinegeri ini asal berasal dari keturunan Raja Minangkabau. Istananya bernama Seri Menanti. Adat istiadatnya sama dengan Minangkabau, peraturan-peraturannya sebagiannya menurut undang-undang adat di Minangkabau. Mereka mempunyai suku-suku seperti orang Minangkabau tetapi berbeda cara pemakaiannya.

Perpindahan penduduk ini terjadi bermula pada abad ke 14 M yaitu ketika pemerintah menyarankan supaya rakyat memperkembang Minangkabau sampai jauh jauh diluar negeri. Mereka harus mencari tanah tanah baru, daerah daerah baru dan kemudian menetap didaerah itu. Setengahnya yang bernasib baik dapat menemui tanah kediaman yang subur dan membuka tanah dan membuat perkampungan disitu. Ada pula yang bersatu dengan rakyat asli yang ditemui merka dan menjadi pemimpin disana. Sudah tentu adat adat, undang undang, kelaziman dinegeri asalnya yang dipergunakannya pula dinegeri yang baru itu. Sebagai sudah diuraikan orang-orang Minangkabau itu menjalani seluruh daerah : ke Jambi, Palembang, Indragiri, Taoung Kanan dan Tapung Kiri, Siak dan daerah lainya. Sebagiannya menyeberangi Selat Melaka dan sampai di Negeri Sembilan.

Pada abad ke 16 M pemerintahan negeri mereka disana sudah mulai tersusun saja. Mereka mendirikan kerajan kecil-kecil sebanyak 9 buah dan kesatuan kerajaan kecil kecil itu mereka namakan Negeri Sembilan. Negara ini terjadi sewaktu Minangkabau mempersatukan kerajaan kerajaan kecil ini dan diperlindungkan dibawah kerajan Johor. Setelah negara kesatuan ini terbentuk dengan mufakat bersama dengan kerajaan Johor dimintalah seorang anak raja Pagaruyung untuk dinobatkan menjadi raja di Negrei Sembilan itu. Pada waktu itulah bermula pemerintahan Yang Dipertuan Seri Menanti.

Asal usul anak negeri disitu kebanyakan dari Luhak Lima Puluh Kota yaitu dari : Payakumbuh, Sarilamak, Mungka, Batu Balang, Batu Hampar, Simalanggang dan sebagian kecil dari Luhak Tanah Datar. Dari negeri negeri mana mereka berasal maka nama nama negeri itulah menjadi suku mereka. Sebagian tanda bukti bahwa rakyat Negeri Sembilan itu kebanyakan berasal dari Luhak Lima Puluh Kota sampai sekarang masih terdapat kata-kata adat yang poluler di Lima Puluh Kota : "Lanun kan datang merompak, Bugis kan datang melanggar". Kata kata adat ini sering tersebut dalam nyanyian Hikayat Anggun nan Tunggal Magek Jabang. Di tanah Melaka kata kata ini menjadi kata sindiran atau cercaan bagi anak anak nakal dan dikatakan mereka "anak lanun" atau anak perompak.

Kalau dibawa kepada jalan sejarah diatas tadi, maka yang dimaksud dengan "lanun" itu ialah perompak, rakyat dari Raja Daeng Kemboja yang hendak merampas Negeri Sembilan. Dan Bugis adalah nama negeri asal Daeng Kemboja tadi. Dan memang aneh, kata lanun yang jadi buah nyanyian oleh rakyat Lima Puluh Kota ini tidak dikenal oleh rakyat Luhak Agam dan sedikit oleh rakyat rakyat Luhak Tanah Datar. Karena memang fakta sejarah keturunan anak negeri Sembilan itu sebagian besar berasal dari Luhak Lima Puluh Kota. Nama suku-suku rakyat disana menjadi bukti yang jelas.

Oleh karena Sultan Johor sudah memberikan bantuannya dalam melindungi rakyat Negeri Sembilan ini dari jarahan lanun atau Daeng Kemboja, disebabkan ini pulalah Yang Dipertuan Pagaruyung memberikan bantuan kepada Sultan Johor dalam memberikan bantuan ikut bertempur di Siak untuk memerangi bangsa Aceh. Maka hubungan yang demikian rapat semenjak berabad-abad itu menjadikan hubungan antara negara yang akrab : Negeri Sembilan pada khususnya, Indonesia-Malaysia pada umumnya.

Kamis, 11 Mei 2017

Sejarah Champa


Kerajaan Champa (bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke 7 M. Sebelum adanya Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-Yi (Lam Ap), yang didirikan sejak tahun 192 M, namun hubungan antara Lin-Yi dan Campa masih belum jelas. Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam,Kamboja, Thailand, Malaysia dan Pulau Hainan (China). Bahasa Champa termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.

Kerajaan Lin-Yi merupakan inti pertama negeri Champa yang masuk sejarah pada akhir abad ke 2 M. Sumber-sumber dari China memberitakan pendiriannya sekitar tahun 192 M. Pembentukan kerajaan Lin-Yi pada tahun 192 M didahului setengah abad sebelumnya, yakni pada tahun 137 M, dengan usaha penyerbuaan pertama terhadap Siang-Lin.

Islam Di Champa

Pada awalnya Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan China, namun peperangan dan penaklukan terhadap wilayah tetangganya yaitu Kerajaan Funan pada abad ke 4 M, telah menyebabkan masuknya budaya India. Setelah abad ke 10 M dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini akhirnya membawa pula pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Champa.

Kebanyakan orang Cham saat ini beragama Islam, namun seperti orang Jawa di Indonesia, mereka mendapat pengaruh besar Hindu.

Sebelum penaklukan Champa oleh by Lê Thánh Tông, agama dominan di Champa adalah Syiwaisme dan budaya Champa sangat dipengaruhi India. Islam mulai memasuki Champa setelah abad ke 10 M, namun hanya setelah invasi tahun 1471 M pengaruh agama ini menjadi semakin cepat. Pada abad ke 17 M keluarga bangsawan para tuanku Champa juga mulai memeluk agama Islam, dan ini pada akhirnya memicu orientasi keagamaan orang-orang Cham. Pada saat aneksasi mereka oleh Vietnam mayoritas orang Cham telah memeluk agama Islam.

Islam mulai sepenuhnya berkembang di Cham setelah mereka berhubungan dengan dunia Melayu.

Seperti telah diuraikan sebelumnya banyak orang Campa yang meninggalkan tanah airnya karena desakan Nan Tien atau pergerakan orang-orang Vietnam ke selatan. Untuk menyelamatkan diri mereka Hijrah ke Kamboja. Di Kamboja mereka bertemu dengan kelompok Melayu yang datang dari Nusantara. Akulturasi budaya yang terjadi karena persamaan agama dan rumpun bahasa Austronesia tersebut membentuk sebuah komunitas masyarakat baru yang di sebut Melayu-Champa.

Rabu, 10 Mei 2017

Kesultanan Brunei Darussalam

    Catatan sejarah awalnya kerajaan Brunei menyebutkan bahwa peradaban Brunei diketahui telah ada sejak abad ke 6. Pada saat itu Brunei dikenal sebagai salah satu pelabuhan persinggahan para pelaut dari Cina, Arab, dan India. Para pelaut yang didominasi kaum pedagang tersebut biasanya singgah sejenak di pelabuhan Brunei kemudian melanjutkan pelayaran ke daerah Nusantara

     Dalam catatan sejarah Cina, Brunei dikenal dengan nama Po-li, Po-lo, atau Pu-ni. Dalam catatan sejarah Arab, Brunei disebut dengan nama Zabaj atau Randj. Sedangkan para pelaut (pedagang) Arab menyebut “Laut Brunei” untuk perairan yang kini kita kenal dengan nama Laut Cina Selatan.

    Ketika Dinasti Sung digantikan oleh Dinasti Ming yang berkuasa di Cina antara tahun 1368-1643 M, penyebutan Pu-ni mulai bergeser menjadi Brunei. Penyebutan “Brunei” menjadi nama baru dalam catatan Cina yang diindikasikan karena pengaruh dari perpindahan Kerajaan Brunei Tua ke Kota Batu.

    Catatan dari Dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1397 M, beberapa utusan telah datang ke Cina. Utusan-utusan tersebut berasal dari Annam, Siam, Jawa, Liu-Kiu, San-bo-tsai, Bruni (Brunei), Pahang, Sumatera, dan negeri lain. Berdasarkan catatan dari Dinasti Ming ini dapat diperkirakan bahwa perpindahan Kerajaan Brunei Tua ke Kota Batu berlangsung sebelum tahun 1397 M.
Islam di Brunei

     Ketika Kerajaan Brunei Tua telah merdeka, Raja Awang Alak Betatar menjalin hubungan dengan Johor. Hubungan ini ditandai dengan perkawinan antara Raja Awang Alak Betatar dengan seorang putri dari Johor. Lewat perkawinan ini, Raja Awang Alak Betatar akhirnya memeluk agama Islam sehingga namanya diubah menjadi Sultan Muhammad Syah. Saat itulah agama Islam mulai ditetapkan sebagai agama negara.

    Sultan Muhammad Syah memimpin Kesultanan Brunei hingga tahun 1402 M. Dalam Salasilah Raja Brunei disebutkan bahwa Sultan Muhammad Syah hanya memiliki seorang putri bernama Puteri Ratna Dewi, namun apabila ditilik dari batu nisan makam Rokayah binti Sultan Abdul Majid Hasan ibnu Muhammad Syah Al Sultan yang berangka tahun 1422 M dan terletak di Tanah Pekuburan Islam di Jalan Residency Bandar Seri Begawan didapatkan sebuah keterangan bahwa Sultan Muhammad Syah memiliki seorang putra bernama Sultan Abdul Majid Hasan atau dalam catatan Cina ditulis Ma-na-je-ka-na. Namun nama Sultan Abdul Majid Hasan tidak termasuk ke dalam Salasilah Raja Brunei. Sultan Abdul Majid Hasan mangkat pada tahun 1408 M ketika melakukan kunjungan ke Nanking Cina. Beliau dimakamkan di Cina dan pada nisannya tertulis “Makam Raja Puni”. 

     Catatan yang terdapat dalam Salasilah Raja Brunei menyatakan bahwa setelah Sultan Muhammad Syah mangkat pada tahun 1402 M, pengganti kedudukan Sultan Brunei adalah saudara Sultan Abdul Majid Hasan yang bernama Pateh Berbai atau Pangeran Bendahara. Pada tahun 1408 Pangeran Bendahara naik tahta dan bergelar Sultan Ahmad.

    Pada tahun 1425 M Sultan Ahmad mangkat. Oleh karena tidak memiliki putra maka kedudukan Sultan Brunei diserahkan kepada menantunya Sharif Ali. Sharif Ali adalah seorang penyebar agama Islam yang berasal dari Taif di Arab dan telah menyebarkan agama Islam sejak tahun 1400 M atau ketika Brunei masih diperintah oleh Sultan Abdul Majid Hasan.

    Kepemimpinan Sultan Sharif Ali atau yang juga dikenal dengan nama Paduka Seri Muda Berkat berlangsung hingga beliau mangkat pada tahun 1432 M. Pengganti Sultan Sharif Ali berturut turut adalah Pengeran Muda Besar Sulaiman yang naik tahta pada tahun 1432 M dan bergelar Sultan Sulaiman. Dalam Hikayat Hang Tuah Sultan Sulaiman disebut sebagai Adipati Agung sedangkan dalam Sejarah Melayu, disebut Sang Aji Brunei. Sultan Brunei selanjutnya adalah Pengeran Muda Bolkiah yang naik tahta pada tahun 1485 M dan bergelar Sultan Bolkiah. Sultan Bolkiah dikenal juga dengan nama Anakhuda Ragam atau Nahkoda Ragam. Sebutan ini merujuk pada kebiasaan Sultan Bolkiah yang sering bepergian ke luar negeri dengan menggunakan “ajung” (jung atau kapal). Dalam setiap kepergian beliau selalu diiringi oleh musik Nobat dan Gendang Kebesaran Diraja. Sultan Bolkiah dikenal sebagai sosok yang adil dalam memerintah sehingga beberapa daerah yang dikunjunginya merasa terlindungi dan tunduk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei.

     Pada tarikh 11 Juli 1524 Sultan Bolkiah mangkat dalam perjalanan kembali ke Brunei dari luar negeri. Pengeran Anak Cucu Besar Saiful Rijal naik tahta dan bergelar Sultan Abdul Kahar. Pemerintahan Sultan Abdul Kahar berlangsung hingga tahun 1530 M. Selepas Sultan Abdul Kahar meletakkan jabatan putra sulung baginda yang bernama Pengeran Muda Besar Ismail naik tahta namun hanya bertahan setahun karena beliau mangkat. 

     Pengganti Pengeran Muda Besar Ismail adalah Pengeran Muda Tengah Othman namun tidak lama kemudian juga mangkat sehingga digantikan oleh Pengeran Muda Iring Ali Akbar. Hal serupa terjadi pada dua pendahulunya Pengeran Muda Iring Ali Akbar juga mangkat tidak lama setelah naik tahta.

     Saat itu Sultan Abdul Kahar baru menyadari jika tahta Kesultanan Brunei sesungguhnya milik keturunan dari kakaknya Pengeran Bendahara Pengeran Muda Besar Tajuddin yang tidak sempat naik tahta meskipun telah disiapkan sebagai pengganti ketika ayah mereka Sultan Bolkiah memerintah. Atas dasar pertimbangan tersebut Sultan Abdul Kahar menyerahkan tahta Brunei kepada putra Pengeran Bendaraha Pengeran Muda Besar Tajuddin yang bernama Pengeran Anak Cucu Besar Saiful Rijal. Pada tahun 1533 M Pengeran Anak Cucu Besar Saiful Rijal naik tahta dan bergelar Sultan Saiful Rijal. Ketika Sultan Saiful Rijal memerintah terjadi Perang Kastila.

     Perang Kastila dimulai ketika Spanyol yang telah berhasil menaklukkan Filipina (Manila) pada tahun 1571 M bermaksud menawarkan “perlindungan” kepada Kesultanan Brunei. Tawaran perlindungan bermakna bahwa Kesultanan Brunei mengakui kedaulatan Spanyol yang bermarkas di Manila. Tawaran ini ditolak oleh Sultan Saiful Rijal.

    Sikap Spanyol ini didasari oleh dua hal, pertama Kesultanan Brunei telah menyebarkan agama Islam sehingga berpengaruh kuat di Filipina sejak masa kekuasaan Sultan Bolkiah. Kedua, perkembangan Islam di Filipina tentu saja menghambat upaya Kristenisasi yang menjadi salah satu tujuan Spanyol. Oleh karena itu Spanyol merasa perlu untuk menaklukkan pusat Islam yaitu Kesultanan Brunei.

     Kontak senjata pertama antara pasukan Kesultanan Brunei melawan Spanyol terjadi pada tarikh 14 April 1578. Pasukan Spanyol dipimpin oleh Kapten Jenderal Spanyol di Manila, Dr. Fansisco de Sande berkekuatan 40 kapal perang. Sedangkan pasukan Brunei berkekuatan 50 kapal perang. Dalam kontak pertama ini, pasukan Kesultanan Brunei menderita kekalahan.

     Kemenangan pada kontak senjata pertama menjadikan moral pasukan Spanyol bangkit. Pada tarikh 16, 20, dan 24 April 1578 pasukan Spanyol telah memasuki istana, menggeledah, dan merampas berbagai barang berharga. Pasukan Kesultanan Brunei yang kalah pada kontak pertama kemudian menggalang kekuatan di bawah pimpinan Pengeran Bendahara Sakam ibnu Sultan Abdul Kahar. Pasukan ini kembali menggempur Spanyol hingga terdesak dan dipaksa untuk mundur sampai ke Nausung (Sabah). Pada tarikh 26 Juni 1578, Spanyol menderita kekalahan perang dan berhasil diusir dari bumi Brunei. Sebagai pelampiasan atas kekalahan perang, tiga hari sebelum meninggalkan Brunei, pada tarikh 23 Juni 1578, Dr. Fansisco de Sande memerintahkan untuk membakar Masjid Jami’ Brunei. 

     Pengeran Bendahara Sakam yang berjasa karena kepemimpinannya dalam mengusir Spanyol akhirnya mendapat anugerah dari Sultan Saiful Rijal yaitu gelar Raja Bendahara, sebuah gelar yang dianggap sebagai calon pengganti Sultan Brunei. Namun sebelum naik tahta, Pengeran Bendahara Sakam telah mangkat. Sultan Saiful Rijal mengangkat putranya yang bernama Raja Brunei (Syah Brunei) sebagai Sultan Brunei, namun tidak lama kemudian juga mangkat. Tahta Kesultanan Brunei akhirnya diserahkan kepada adik Sultan Saiful Rijal yang bernama Pengeran Muda Muhammad Hasan yang naik tahta pada tahun 1582 M bergelar Sultan Muhammad Hasan.

    Sultan Muhammad Hasan mangkat pada tahun 1598 M. Pengganti Sultan Muhammad Hasan adalah Pengeran Muda Besar Abdul Jalilul Akbar bergelar Sultan Jalilul Akbar (1598-1659 M), kemudian Pengeran Muda Besar Sulong Abdul Jabbar bergelar Sultan Abdul Jalilul Jabbar (1659-1660 M). 

      Sultan Muhammad Ali mangkat pada tarikh 7 November 1661 dan digantikan oleh Pengeran Bendahara Pengeran Abdul Hakkul Mubin yang bergelar Sultan Abdul Hakkul Mubin. Ketika masih memerintah, Sultan Abdul Hakkul Mubin telah memberikan karunia gelar Pengeran Bendahara Seri Maharaja Permaisuara kepada Pengeran Bongsu Muhyiddin ibnu Sultan Abdul Jalilul Akbar yang tak lain adalah adik kandung Sultan Abdul Jalilul Jabbar dari ibu yang sama, Radin Mas Ungku Siti Kaisah, putri Pengeran Temenggong Mancho Negoro dari Jawa.

     Luka lama pembunuhan yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hakkul Mubin terhadap Sultan Muhammad Ali kembali terkuak. Pengeran Bongsu Muhyiddin bermaksud menuntut balas dan berusaha merebut tahta. Terjadilah perang saudara yang berlangsung selama 12 tahun (1661-1673 M). Perang berakhir ketika Sultan Abdul Hakkul Mubin berhasil dibunuh oleh Pengeran Bongsu Muhyiddin yang kemudian menduduki tahta Kesultanan Brunei pada tahun 1673 M dan bergelar Sultan Muhyiddin.

     Sultan Muhyiddin mangkat pada tahun 1690 M. Pengganti Sultan Muhyiddin adalah Pengeran Anak Cucu Nasruddin ibnu Pengeran Muda Besar Abdullah ibnu Sultan Abdul Jalilul Akbar bergelar Sultan Nasruddin. Sultan Nasruddin mangkat pada tahun 1670 M dan digantikan Pengeran Muda Husain Kamaluddin ibnu Sultan Haji Muhammad Ali yang bergelar Sultan Husain Kamaluddin. Keinginan almarhum Sultan Muhyiddin untuk mengembalikan tahta Kesultanan Brunei kepada keturunan Sultan Muhammad Ali akhirnya terealisasi.

    Masa pemerintahan Sultan Husain Kamaluddin disebutkan sebagai salah satu masa kemakmuran Kesultanan Brunei. Salah satu indikasi kemakmuran Kesultanan Brunei ditunjukkan dengan mengeluarkan mata uang Kesultanan Brunei yang disebut mata uang “pitis”.

   Pemerintahan Sultan Husain Kamaluddin jilid II bertahan hingga tahun 1740 M. Beliau kemudian menyerahkan tahta Kesultanan Brunei kepada menantunya, Pengeran Muda Tengah Omar Ali Saifuddin yang menikah dengan Pengeran Anak Putri Nur Alam binti Sultan Husain Kamaluddin. Pengeran Muda Tengah Omar Ali Saifuddin naik tahta pada tahun 1740 M dan bergelar Sultan Omar Ali Saifuddin I.

    Pemerintahan Sultan Omar Ali Saifuddin I bertahan hingga tahun 1778 M. Pengganti Sultan Omar Ali Saifuddin I adalah Pengeran Muda Besar Muhammad Tajuddin bergelar Sultan Muhammad Tajuddin. Selanjutnya pada tahun 1804 M tahta Kesultanan Brunei diserahkan kepada Pengeran Muda Tengah Jamalul Alam bergelar Sultan Muhammad Jamalul Alam I.

    Sultan Muhammad Jamalul Alam I memerintah hanya sekitar 7 bulan (26 April 1804 hingga 10 November 1804). Beliau mangkat dan digantikan putranya Pengeran Muda Besar Omar Ali Safiuddin II. Namun berhubung putra baginda belum cukup umur maka tahta Kesultanan Brunei untuk sementara diampu oleh Paduka Seri Begawan Sultan Muhammad Tajuddin.

     Paduka Seri Begawan Sultan Tajuddin hanya mampu memimpin Kesultanan Brunei hingga tahun 1807 M. Beliau kemudian menyerahkan tahta kepada Pengeran Di Gadong Ayah Pengeran Muda Tengah Muhammad Kanzul Alam ibnu Sultan Omar Saifuddin I dan bergelar Sultan Muhammad Kanzul Alam. Masa pemerintahan Sultan Muhammad Kanzul Alam juga diwarnai dengan keputusan sepihak untuk mengangkat putranya Pengeran Muda Muhammad Alam sebagai calon pewaris tahta. 

     Pada tahun 1826 Pengeran Muda Muhammad Alam naik tahta dan bergelar Sultan Muhammad Alam. Pemerintahan Sultan Muhammad Alam dijalankan dengan sistem kediktatoran. Bahkan pada tarikh 15 Februari 1826 pewaris tahta yang sah, Pengeran Muda Besar Omar Ali Safiuddin II terpaksa harus mengungsi ke Pulau Keingaran untuk menghindari pertumpahan darah. Masa pemerintahan Sultan Muhammad Alam hanya berlangsung selama 2 tahun. Pada tahun 1828 M, Sultan Muhammad Alam meninggal dan tahta Kesultanan Brunei dikembalikan kepada Pengeran Muda Besar Omar Ali Safiuddin II yang bergelar Sultan Omar Ali Safiuddin II.

 Sultan Omar Ali Safiuddin II
 
Pengaruh Inggris/British di Brunei

     Pada abad ke 19 James Brooke tiba di Sarawak. Duta Kerajaan Inggris ini bermaksud untuk menjalin hubungan dengan penguasa Sarawak kala itu, Pengeran Indera Mahkota Pengeran Muhammad Salleh yang merupakan kepanjangan tangan Kesultanan Brunei. Pengeran Indera Mahkota Pengeran Muhammad Salleh menjadi penguasa Sarawak ketika Sultan Muhammad Kanzul Alam bertahta. Selain Pengeran Indera Mahkota Pengeran Muhammad Salleh di Sarawak juga bermukim Pengeran Muda Hashim ibnu Sultan Muhammad Kanzul Alam. James Brooke mendekati Pengeran Muda Hashim untuk menjalin perjanjian kerjasama. Perjanjian akhirnya berhasil dibuat antara James Brooke dengan Pengeran Muda Hashim pada tahun 1841 M. Isi perjanjian adalah izin bagi James Brooke untuk tinggal dan mendirikan bangunan di Sarawak.

     Perjanjian tahun 1841 M diperbaharui dengan perjanjian yang ditandatangani pada tarikh 15 Agustus 1842 antara James Brooke dengan Sultan Omar Ali Safiuddin II melalui perantara Pengeran Muda Hashim ibnu Sultan Muhammad Kanzul Alam. Perjanjian 1842 berisi pelantikan James Brooke sebagai penguasa di Sarawak. Berdasarkan pelantikan tersebut maka kekuasaan Pengeran Indera Mahkota Pengeran Muhammad Salleh sebagai penguasa di Sarawak digantikan oleh James Brooke.

    James Brooke menjadikan terbunuhnya Pengeran Muda Hashim ibnu Sultan Muhammad Kanzul Alam selaku sekutu politiknya sebagai alasan untuk menyerang Kesultanan Brunei. Pada tarikh 8 Juli 1846 angkatan perang James Brooke (Kerajaan Inggris) yang didukung oleh Laksamana Sir Thomas Cochare, Komandan Pangkalan di Timur Jauh telah mendarat di Brunei. Perang antara Kesultanan Brunei dan Inggris tidak terhindarkan. Akibat perang ini, Sultan Omar Ali Safiuddin II terpaksa mengungsi ke Damuan. Perseteruan dengan Inggris akhirnya diakhiri dengan perjanjian persahabatan dan perdagangan pada tahun 1847 M.

     Pada tarikh 14 Agustus 1961 Sultan OmarAli Saifuddien III mengarak putra tertua, Pengeran Muda Besar Hassanal Bolkiah menjadi Putea Mahkota sebagai calon pengganti kedudukan Sultan Brunei. Akhirnya pada tarikh 5 Oktober 1967 Sultan Omar ‘Ali Saifuddien III menurunkan tahta kepada putranya Pengeran Muda Besar Hassanal Bolkiah untuk menjadi Sultan Brunei dan bergelar Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah.

     Pemerintahan Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah ditandai dengan deklarasi kemerdekaan Negara Brunei Darussalam pada tarikh 1 Januari 1984. Deklarasi tersebut pada dasarnya merupakan kelanjutan dari upaya menuju Negara Brunei Darussalam yang berdaulat yang telah dirintis oleh Sultan Omar ‘Ali Safiuddien Sa’adul Khairi Waddien pada tarikh 29 September 1959. Kini Kesultanan Brunei Darussalam menjadi inti dari sebuah negara monarki bernama Negara Brunei Darussalam. Sampai saat ini Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah masih menjabat sebagai Kepala Negara Brunei Darussalam sekaligus sebagai Sultan Brunei Darussalam.

 Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah



Selasa, 09 Mei 2017

Austronesia di Madagaskar


     Madagaskar terletak di sebelah tenggara Benua Afrika. Kira kira luas ini sebesar Pulau Borneo (Kalimantan). Madagaskar merupakan negara berbentuk Pulau yang beribukota di Antanarivo. Dan negara ini merupakan bekas jajahan Prancis dan negara tersebut merdeka pada tahun 1960.

      Budaya daerah ini dipengaruhi oleh orang dari kelompok etnis yang berbeda. Salah satunya adalah ada kelompok etnik yang berasal dari Nusantara yaitu etnik Banjar atau campuran Dayak Maanyan dengan Melayu di Kalimantan. Namun menurut penelitian mengatakan dari keseluruhan Bahasa di Madagaskar yaitu Malagasy hampir 90% mirip bahasa Maanyan. Tapi secara genetika sangat berbeda. Mungkin saja daerah ini termasuk rumpun Austronesia.

      Ada semua unsur Melayu yang terdapat di Madagaskar yang diturunkan dari penduduk asli di daerah Kalimantan tepatnya di Banjar sekarang. Mereka mungkin sampai dibagian barat Samudera Indonesia di sekitar permulaan tahun Masehi.

      Pada masa itu Madagaskar belum dihuni oleh manusia dan penduduk di pantai Afrika bagian timur yang sama dengan Khoi-san di Afrika Selatan sekarang yang sangat berbeda dari orang Bantu yang merupakan sejenis orang Negro dari Afrika Selatan sampai ke Timur.

      Sisa sisa jiwa bahari orang Dayak Maanyan sebagai salah satu unsur suku Banjar masih terdapat pada perahu atau kapal yang melayari sungai Barito dan Tabalong sesudah mereka mundur sejak pertengahan abad ke 14.

     Tanah di Madagaskar berwarna merah sehingga negara ini dijuluki sebagai Pulau Merah

Siak Sri Indrapura


      Kesultanan Siak Sri Indrapura berdiri tahun 1723-1946 M yang didirikan oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah, putra Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dan isterinya Encik Pong. Dengan Pusat Kerajaan di Buantan. Selama lebih dari 20 tahun pemerintahan di Buantan Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah yang dipertuan Raja Kecil, telah menempatkan dasar dari sebuah kerajaan yang kelak akan berkembang dibawah pemerintahan keturunannya. Hubungan perdagangan diatur dengan baik sehingga negeri yang baru berkembang itu berkembang dengan cepat dan dikunjungi oleh pedagang dari Pesisir Timur Sumatera. Sultan mangkat pada tahun 1746 M dan diberi gelar Mahrum Buantan.

      Sultan ini mempunyai tiga orang putra yaitu Tengku Alam bergelar Yang di Pertuan Muda, Tengku Tengah (meninggal sebelum dewasa) dan Tengku Buang Asmara Bergelar Tengku Mahkota. Diakhir hayatnya, meletus perang saudara yang mana kedua puteranya berselisih faham. Hal ini menyebabkan Tengku Alam yang dipertuan Muda akhirnya meninggalkan Buantan. Pemerintahan/pihak kerajaan Kesultanan Siak dilanjutkan oleh Tengku Buang Asmara, Tengku Mahkota dengan gelar Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1765 M). Sekitar tahun 1750 M, Sultan memindahkan ibukota ke hulu negeri Buantan pada sebuah tempat bernama Mempura yang terletak pada sebuah anak sungai yang bernama Sungai Mempura Besar. Setelah beliau memerintah selama kurang lebih 19 tahun dan setelah Kerajaan Siak kukuh, pada tahun 1765 M beliau mangkat dan diberi gelar Marhum Mempura Besar. 

      Pada masa Sultan ke IX Pemerintahan Kesultanan Siak dipimpin oleh Said Ismail dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1827-1864 M). Beliau adalah menantu dari Sultan Said Ali. Pada masa beliau pusat Kerajaan dipindahkan ke Kota Siak Sri Indrapura dan ditandatanganinya "Traktat Siak" dengan Hindia Belanda yang berisi bahwa Kerajaan Siak takluk kepada Belanda. Beliau mangkat dan diberi gelar Marhum Indrapura. Selanjutnya Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I (1864-1889 M) yang memerintah di Kerajaan Siak. Pada masa beliau, Mahkota Kerajaan Siak dibuat, sehingga pada saat beliau wafat dianugrahi gelar Marhum Mahkota. 


     Pada masa Sultan ke XI yaitu Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908 M, maka dibangunlah Istana yang megah nan indah yang terletak di Kota Siak dan Istana ini diberi nama Istana Asserayyah Al Hasyimiah yang dibangunpada tahun 1889 M. Pembuatan Istana ditukangi oleh seorang arsitektur Jerman yang bernama Vande Morte. Beliau juga mendirikan Balai Kerapatan Tinggi ataupun Balairung Sri yang dijadikan ruang kerja Sultan, Aparatur Pemerintahan serta tempat Penobatan dan Mahkamah pengadilan. Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin Mangkat pada tahun 1908 di Singapura dan jenazahnya dibawa ke Siak yang kemudian dimakamkan di komplek Pemakaman Koto Tinggi. Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi, dan dimasa inilalah beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan ke 12 dengan gelar Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir dekenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani ( Sultan Syarif Kasim II ).


     Sultan Syarif Kasim II sangat berjasa bagi Indonesia. Saat menyatakan kesetiaan pada Republik Indonesia, mahkota, pedang, dan sebagian hartanya diserahkan kepada Soekarno-Hatta.

      Bicara tentang sosok Sultan Syarif Kasim II tak bisa dipisahkan dari Kesultanan Siak Sri Indrapura yang merupakan kesultanan terbesar di Riau. Kesultanan itu didirikan oleh Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah pada 1723.

     Sultan Syarif Kasim II yang lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 adalah Sultan Siak Sri Indrapura ke-12. Dia menggantikan ayahnya, Sultan Assyaidin Hasyim I Abdul Jalil Syaifuddin yang wafat pada 1908. Namun, dia baru dinobatkan menjadi sultan pada 13 Maret 1915, dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin. Dia berkuasa hingga 1946.

    Sejak dinobatkan sebagai sultan, dia menegaskan sikap bahwa Kerajaan Siak adalah kerajaan yang berkedudukan sejajar dengan Belanda. Hal ini tidak seperti isi kontrak perjanjian antara Kesultanan Siak dengan Belanda yang menyatakan bahwa Siak adalah milik Kerajaan Belanda yang dipinjamkan kepada sultan.

     Demi mencerdaskan rakyatnya, Sultan Syarif Kasim II menyelenggarakan program pendidikan dengan mendirikan Hollandsch Inlandsche School (HIS) di samping sekolah berbahasa melayu yang diperuntukkan bagi semua lapisan penduduk.

      Untuk mempermudah transportasi bagi para siswa, dia membuat perahu penyeberangan gratis. Bahkan, bagi para siswa yang berbakat diberikan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke luar daerah seperti Medan, Padang, dan Batavia.

      Dia juga mendirikan sekolah agama khusus laki-laki dengan nama Taufiqiah Al-Hasyimah. Tak tanggung-tanggung, tenaga pengajar didatangkan dari Padang dan Mesir.

     Selama memimpin, dia sangat menentang dan menolak kebijakan Belanda yang mewajibkan agar rakyat melakukan kerja rodi. Penentangan ini oleh pihak Belanda dianggap sebagai penolakan pribadi Sultan.

      Belanda tak bisa terima. Sultan Syarif Kasim II dianggap memberontak. Untuk menumpas pemberontakan itu, Belanda melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk. Bahkan, Belanda mendatangkan bala bantuan di bawah pimpinan Letnan Leitser yang telah berpengalaman dalam Perang Aceh.

      Namun, usaha Leitser untuk menumpas pemberontakan tersebut gagal. Bahkan, Leitser tewas bunuh diri pada 1932.

      Di masa pendudukan Jepang, Sultan Syarif Kasim II juga tetap konsisten membela rakyatnya agar menolak untuk menjadi tenaga Romusha.

      Setelah mendapat kabar Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirim surat kepada Soekarno-Hatta. Surat itu berisi tentang kesetiaan dan dukungan kepada Pemerintah RI.

      Sebagai mahar, dia disebut menyerahkan harta kekayaannya untuk perjuangan senilai 13 juta gulden. Dia juga disebut menyerahkan mahkota dan pedang Kesultanan Siak.

      Pada Oktober 1945, Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) di Siak, yang dipimpin Dr Tobing. Dia lalu membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik.

Senin, 08 Mei 2017

Kesultanan Demak


      Kesultanan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yang berdiri pada abad ke 15 berkat perjuangan dan usaha Pangeran Jinbun atau Raden Patah ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.

      Dengan bantuan daerah lain yang masuk Islam seperti Jepara, Tuban, dan Gresik. Raden Patah pada tahun 1475 berhasil mendirikan Kesultanan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah adalah putra Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir) dengan putri Champa. Raden Patah semula diangkat menjadi bupati oleh Kerajaan Majapahit di Bintoro Demak dengan gelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Setelah menjadi sultan Kesultanan Demak Raden Fatah memindahkan semua alat upacara kerajaan dan pusaka Majapahit ke Demak sebagai lambang dari tetap berlangsungnya Kerajaan Kesatuan Majapahit, tetapi dalam bentuk baru di Demak.

      Dalam upaya mengembangkan kekuasaan dan menguasai perdagangan nasional dan internasional maka pada tahun 1513 Demak melancarkan serangan ke Melaka di bawah pimpinan Adipati Unus (Pangeran Sabrang Lor). Namun, serangan tersebut gagal. Di lingkungan kesultanan, para wali berperan sebagai pendamping dan sekaligus sebagai penasehat sultan khususnya Sunan Kalijaga. Ia banyak memberikan saran sehingga Demak berkembang menjadi mirip kesultanan teokrasi yaitu kesultanan atas dasar agama.

      Perkembangan agama Islam di Kesultanan Demak tidak terlepas dari peranan para wali (Wali Songo) terutama peran dari Sunan Kalijaga. Untuk memajukan kehidupan budaya di Demak, Sunan Kalijaga memimpin pembangunan Masjid Demak yang terkenal salah satu tiang utamanya terbuat dari pecahan kayu yang disebut Soko Tatal. Di pendopo (serambi depan) Masjid Demak itulah Sunan Kalijaga meletakan dasar perayaan sekaten untuk memperoleh penganut Islam yang banyak. Tradisi seperti itu sampai sekarang masih dilaksanakan di Yogyakarta dan Cirebon.

Runtuhnya Majapahit karena Demak?

      Mundurnya Kerajaan Majapahit memberikan kesempatan kepada para bupati yang berada di pesisir pantai utara Jawa untuk melepaskan diri, khususnya Demak. 

     Faktor lain yang mendorong perkembangan Demak ialah letaknya yang strategis di jalur perdagangan Nusantara

     Fakta sejarah yang sebenarnya terjadi adalah, penyerangan Demak ke Majapahit terjadi pada tahun 1518 M yang saat itu dipimpin oleh Adipati Unus (putera Raden Patah yang berjuluk Pangeran Sabrang Lor) dan pada dasarnya serangan ini adalah serangan balasan terhadap Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang telah membunuh kakeknya (Bhre Kertabhumi).

      Keruntuhan Majapahit tidak semata mata karena serangan Demak namun lebih kepada terjadinya perebutan kekuasaan antara para bangsawan Majapahit yang pada akhirnya melemahkan keberadaan Majapahit sendiri.

Kerajaan Kandis


      Kerajaan Kandis merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang berdiri di Sumatera yang letaknya di Lubuk Jambi, Kuantan Singingi, Riau.

      Kerajaan Kandis diperkirakan berdiri pada abad ke 1 Sebelum Masehi mendahului berdirinya kerajaan Malayu di Sumatera Tengah. Dua tokoh yang sering disebut sebagai raja kerajaan ini adalah Patih dan Tumenggung.

      Kemudian berdirilah Kerajaan Kandis di Bukit Bakar yang diperintah oleh Raja Darmaswara disingkat dengan Daswara. Raja Darmaswara dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh Patih dan Temenggung. Darmaswara membangun sebuah istana yang megah sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama dengan Istana Dhamna.

      Dengan berdirinya kerajaan baru, maka mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul peperangan antar kerajaan. Salah satunya kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil Putih. Setelah itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan dikalahkan oleh Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh Kandis sehingga Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi sedangkan Patih dan Temenggung pindah ke Marapi.

      Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung layang-layang dari hasil bumi seperti emas, perak, dan lain lain. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Raja Darmaswara memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.

      Setelah kerajaan Kandis mengalahkan Kerajaan Koto Alang, Kandis memindahkan pusat pemerintahannya ke Teluk Kuantan oleh Raja Darmaswara (tidak diketahui Raja Darmaswara yang ke berapa). Pemindahan pusat pemerintahan Kandis ini disebabkan oleh bencana alam (tidak diketahui tahun terjadinya) yang mengakibatkan Istana Dhamna hilang tertimbun tanah.

Bukti Peninggalan Kerajaan Kandis

1) Bekas penambangan emas yang disebut dengan tambang titah artinya diadakan penambangan emas atas titah Raja Darmaswara. Lokasinya dikaki Bukit Bakar bagian timur yang berlubang bekas penambangan yang telah ditumbuhi kayu kayuan.

2) Adanya tempat yang disebut Padang Candi di Dusun Botung menandakan Kerajaan Koto Alang menganut agama Hindu. Pada tahun 1955 pernah dilakukan penggalian dan menemukan Arca sebesar botol dan Arca tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya. Dilokasi tersebut ditemukan potongan batu bata candi.

3) Pada tahun 1967 ditemukan tutup periuk dari emas di dalam sungai Kuantan. Tutup periuk emas ini diambil oleh pihak yang berwajib dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Diperkirakana tutup periuk ini terbawa arus sungai yang berasal dari tebing yang runtuh disekitar Kerajaan Koto Alang.

Kesultanan Banjar


     Kesultanan Banjar berdiri sejak abad ke 16. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terakhir di Martapura. 


      Kesultanan Banjar merupakan kerajaan Islam yang ada di Kalimantan Selatan yang didirikan oleh Pangeran Samudera. Kesultanan ini berkembang menjadi pusat perkembangan yang banyak dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai daerah. Yang dalam penyebaran Agama Islam di Kalimantan Selatan Khususnya daerah Banjarmasin dilakukan oleh para pemeluk agama Islam dari Demak. Dalam penyebaran Agama Islam ini mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Kalimantan.


      Pengeran Samudera, Sultan Banjar yang sebelumnya kerajaan Hindu merasa tertarik terhadap ajaran Islam, yang sehingga akhirnya ia memeluk Islam dan namanya pun diganti menjadi Sultan Suryamullah atau Sultan Suryansyah. Dengan masuk Islamnya Suryamullah maka bentuk Banjar pun berubah menjadi kerajaan bercorak Islam.


      Selain itu Demak pun pernah membantu Sultan Suryamullah ketika kesultanan Banjar melakukan penyerbuan ke karajaan Hindu Negaradipa. Dikalahkannya Negaradipa ini membawa akibat positif terhadap perkembangan Islam di Kalimantan Selatan.


      Sultan Suryanullah digantikan putranya, Sultan Rahmatullah. Rahmatullah lalu digantikan oleh Sultan Hidayatullah. Pada masa Hidayatullah ini, hubungan dengan Demak terputus. Ia memindahkan ibukota ke Muara Tambangan dari Martapura.


      Kesultanan Banjar diberhentikan oleh Belanda pada tahun 1860. Pada tahun 1859 hingga 1905, berlangsung Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Pengeran Antasari yang masih kerabat istana, tak setuju terhadap kebijakan pengeran Tamjidillah yang pro Belanda. Pertempuran besar melawan Belanda berenti pada tahun 1863, namun pertempuran dalam skala kecil masih berlangsung hingga tahun 1905 yang dipimpin oleh putra Antasari, Muhammad Seman.

Kesultanan Sulu


     Pada tahun 1380, seorang ulama berketurunan Arab yaitu Karim ul Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian pada tahun 1390, Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau melanjutkan penyebaran Islam di wilayah Sulu. Dan hingga akhir hayatnya Raja Bagindo pun telah mengislamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu.

      Kemudian dilanjutkan oleh seorang Arab dari Melayu Johor yaitu Sharif ul Hashim Syed Abu Bakar tiba di Sulu sekitar abad ke 13. Ia kemudian menikah dengan Paramisuli yaitu putri Raja Bagindo. Setelah kematian Raja Bagindo, Abu Bakar akan melanjutkan pengislaman di wilayah ini. Pada abad ke 13 , ia mendirikan Kesultanan Sulu dan memakai gelar "Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashim Abu Bakar" dan Gelar "Paduka" tersebut adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan "Mahasari" bermaksud adalah "yang dipertuan".

      Pada abad ke 18, Kesultanan Melayu Brunei menganugerahkan bagian timur Sabah kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpas pemberontakkan di Brunei. Pada abad yang sama, Kesultanan Sulu pun menganugerahkan Pulau Palawan kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat kemudian menyerahkan Palawan kepada Penjajahan Spanyol yang sekarang berada di Filipina Selatan.

      Ibukota Kesultanan Sulu berada di Jolo, Pulau Jolo, Filipina.

Kesultanan Melayu Deli


     Kesultanan Deli berdiri di kota Medan pada abad ke 17 yaitu pada tahun 1632 Masehi. Kesultanan Deli oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan.

      Sejarahnya Tuanku Panglima Gocah Pahlawan bersama pasukannya pergi memerangi Kerajaan Haru di Sumatera Timur pada tahun 1612 M dan berhasil menaklukkan kerajaan ini. Pada tahun 1630 ia kembali bersama pasukannya untuk melumpuhkan sisa kekuatan Haru di Deli Tua. Setelah seluruh kekuasaan Haru berhasil dilumpuhkan. Tuanku Panglima Gocah Pahlawan kemudian menjadi penguasa daerah taklukan tersebut sebagai wakil resmi Kerajaan Aceh dengan wilayah membentang dari Tamiang hingga Rokan. Atas bantuan Kesultanan Aceh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan berhasil memperkuat kedudukannya di Sumatera Timur dengan menaklukkan kerajaan kecil yang ada di daerah tersebut.

      Pada tahun 1653 Tuanku Panglima Perunggit menjadi Sultan Deli setelah menggantikan Tuanku Panglima Gocah Pahlawan yang telah meninggal dunia.

      Pada tahun 1669 Kesultanan Deli memisahkan diri dari Kesultanan Aceh yang memanfaatkan situasi Aceh yang sedang melemah karena dipimpin oleh Taj al Alam Tsafiah al Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar “Kejeruan Padang”. Tuanku Panglima Perunggit mangkat sampai tahun 1700 M.

      Pada tahun 1780 Kesultanan Deli kembali berada dalam kekuasaan Aceh. Ketika Sultan Osman Perkasa Alam naik tahta pada tahun 1825, Kesultanan Deli kembali menguat dan melepaskan diri untuk kedua kalinya dari kekuasaan Aceh. Negeri kecil sekitarnya seperti Buluh Cina, Sunggal, Langkat dan Suka Piring ditaklukkan dan menjadi wilayah Deli. Namun independensi Deli dari Aceh tidak berlangsung lama
Pada tahun 1854 Kesultanan Deli kembali ditaklukkan oleh Aceh dan Raja Osman Perkasa Alam diangkat sebagai wakil kerajaan Aceh. Setelah Raja Osman meninggal dunia.

      Pada tahun 1858 beliau digantikan oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam yang memerintah dari tahun 1861 hingga 1873.

Pada Masa Kolonial Belanda 

      Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Perkasa Alam, Kolonial Belanda yang dipimpin oleh Netcher datang ke Deli.

      Pada tahun 1858 Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak yaitu Sultan Al Sayyid Sharif Ismail menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada mereka. Pada tahun 1861 Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan Deli bebas untuk memberikan hak lahan kepada Belanda.

      Pada masa itulah Kesultanan Deli berkembang pesat. Perkembangannya dapat dilihat dari semakin kayanya pihak kesultanan yaitu dalam usaha perkebunan tembakau dan lainnya. Selain itu, beberapa bangunan peninggalan Kesultanan Deli juga menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu yaitu peninggalan Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.

      Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) berusaha melakukan perubahan sistem pemerintahan dan perekonomian. Perubahan sistem ekonomi yang dilakukan adalah pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan dengan cara meningkatkan hubungan dengan pihak swasta yang yang menyewa tanah untuk dijadikan perkebunan internasional. Hubungan tersebut hanya sebatas antara pemilik dan penyewa. Hasil perkebunan yang meningkat dan hasil penjualan yang sangat menguntungkan membuat pihak Belanda semakin ingin memperluas lahan yang telah ada. Pihak Belanda kemudian melakukan negosiasi baru untuk mendapatkan lahan yang lebih luas dan lebih baik lagi. Keuntungan ini tidak hanya didapati oleh pihak swasta saja, pihak kesultanan juga mendapat hasil yang sangat signifikan. Dana melimpah kesultanan saat itu digunakan untuk meperbaiki fasilitas pemerintahan, pertanian, perkebunan dan lainnya.

Pada Masa Jepang/Jepun

      Pada tarikh 12 Maret 1942 mendarat pasukan penjaga kaisar dari Jepang/Jepun yang sangat terlatih dan terpilih di Perupuk Tanjung Tiram (Batubara) di bawah pimpinan Jenderal Kono dan dari sana mereka segera menuju Medan. Sementara itu pasukan KNIL dan Belanda berhasil melarikan diri menuju Tanah Karo untuk bertahan di Gunung Setan (Tanah Alas). Namun di tengah jalan banyak orang pribumi yang merampas pakaian seragam Belanda itu dan kembali ke kampung. Karena sisa pasukan Belanda yang 3.000 orang itu tidak sanggup melawan pasukan Jepang/Jepun sebanyak 30.000 orang yang terlatih dan berpengalaman perang. Maka pada tarikh 29 Maret 1942 Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenson menyerah kepada Jepang.

      Sejak direbutnya Malaya, Tumasik dan Sumatera oleh Bala Tentara Jepang/Jepun, maka tanggung jawab pemerintahan dipikul oleh markas Bala Tentara ke 25 yang berkedudukan di Tumasik (Singapura).
Sampai sekitar April 1943 kesatuan pemerintahan masih dipegang oleh Bala Tentara ke 25 sebelum akhirnya dipindahkan ke Bukittinggi. Sejak itu pemerintahan administrasi Sumatera dan Malaya terpisah. Di Sumatera, Jepang/Jepun hampir tidak melakukan perubahan sistem pemerintahan yang ada. Setiap Residen disebut syu dan dibawah pengawasan seorang pejabat militer yang disebut gunseibu. Eksistensi kesultanan di Sumatera Timur masih tetap diakui. Bala Tentara ke 25 membagi Sumatera Timur menjadi 5 pusat konsentrasi militer Jepang yaitu sekitar Padang Brarang (Binjai), Sungai Karang (Galang, Deli Serdang) dan Kisaran (Asahan).

Pada Masa Revolusi Sumatera Timur.

      Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat yang dihasut oleh kaum komunis (PKI) terhadap penguasa kesultanan Melayu. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis (PKI) yang hendak menghapuskan sistem monarki dengan alasan anti feodal.

      Karena sulitnya komunikasi dan transportasi berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Teuku Muhammad Hasanselaku yaitu seorang Gubernur Sumatera serta Amir selaku Wakil Gubernur Sumatera dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada tarikh 6 Oktober 1945. Pada tarikh 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen. T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang Belanda di Medan.
Meletusnya revolusi sosial tidak terlepas dari sikap beberapa kelompok bangsawan yang tidak segera mendukung republik setelah adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Beberapa kelompok bangsawan tidak begitu antusias dengan pembentukan republik karena setelah Jepang/Jepun masuk, Jepang/Jepun mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Beberapa bangsawan merasa dirugikan dan berharap untuk mendapatkan haknya kembali dengan bekerja sama dengan NICA sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro republik. Walaupun saat itu juga banyak kaum bangsawan dan sultan yang mendukung kelompok pro republik seperti Amir Hamzah dari Kesultanan Langkat dan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah dari Kesultanan Serdang.


Kesultanan Deli Sekarang

      Sri Paduka Baginda Tuanku Sultan Mahmud Arya Lamanjiji Perkasa Alam atau cukup disingkat Tuanku Aji lahir pada tarikh 17 Agustus 1997 dan kini umurnya kurang lebih 19 tahun adalah Sultan Deli ke 14 yang memerintah sejak 22 Juli 2005. Dia adalah Sultan Deli termuda dalam sejarah. Sultan termuda sebelumnya adalah Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) yang diangkat saat berusia 15 tahun. Aria Mahmud Lamanjiji dinobatkan sebagai Sultan Deli ke 14 menggantikan ayahnya, Letkol Tito Otteman yang tewas akibat kecelakaan pesawat CN-235 di Bandara Malikus Saleh, Lhokseumawe. Saat dinobatkan Aria Lamanjiji sambil mengunyah permen. Maklum Aria Lamanjiji baru berumur 8 tahun. Wajar bila dia melakukan hal yang tidak lumrah saat hari bersejerah bagi dirinya dan Kesultanan Deli itu. Pelantikan berlangsung di Balairung Istana persis di hadapan peti mati ayahnya. Pelantikannya berdasarkan adat Melayu Deli.

Baca Artikel Lainnya